Al
ghina (kekayaan) adalah lawan dari kemiskinan yaitu yang memenuhi kecukupan.
Dalam hadits dikatakan, “Sebaik-baik sedekah adalah yang dikeluarkan dari
kecukupan.” (HR. Bukhari)
Sunatullah
menitahkan hamba-hamba-Nya bahwa Ia Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan mereka
sama dalam hal rezeki, untuk suatu hikmah yang dikehendaki-Nya dan kemaslahatan
yang telah diketahui-Nya bagi hamba-hamba-Nya, hal ini demi tegaknya
sendi-sendi kehidupan untuk mewujudkan rahmat dan kesediaan. Allah berfirman,
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan di
antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah
meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar
sebagian mereka dapat memberdayakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az-Zukhruf: 32)
Allah
menjelaskan bahwa manusia diciptakan secara fitri mencintai harta dan sangat
menginginkan kekayaan, “Dan kamu mencintai harta benda dengan cinta yang
berlebihan.” (Al- Farj: 20), dan firman-Nya, “Sesungguhnya manusia sangat
mencintai harta.” (Al-‘Adiyat: 8)
Meskipun
demikian, Allah membimbingnya agar bersikap sedang, tidak kikir dan tidak
terlalu pemurah dalam membelanjakan harta, “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu
kamu menjadi tercela dan menyesal.” (Al-Isra’; 29)
Ia
memuji orang-orang yang menyambut seruan itu dengan firman-Nya, “Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan
tidak pula kikir, tetapi pembelanjaan itu di tengah-tengah keduanya.”
(Al-Furqan: 67)
Di
samping itu, Allah mencela orang-orang yang memubazirkan sesuatu, dengan
firman-Nya,”Dan berikanlah kepada kerabat-kerabat yang dekat akan haknya dan
kepada orang miskin dan ibnu sabil. Dan janganlah kamu memubazirkan harta.
Sesungguhnya orang-orang yang mubazir adalah saudara-saudaranya setan dan setan
itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Al-Isra’: 26-27)
Salah
satu bentuk tabzir itu adalah membuang-buang harta secara percuma. Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah melarangmu banyak
bicara (tanpa dasar yang benar), banyak bertanya, dan membuang-buang harta.”
(HR. Bukhari)
Batas
kewajaran dalam membelanjakan harta adalah mengeluarkannya sesuai dengan
perintah Allah secara wajib, sunah, maupun mubah tanpa berlebihan. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Katakan (hai Muhammad), “Siapakah yang
mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah, “Semua itu
disediakan bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat itu agar
mereka mengetahui.” (Al-A’raf: 32)
“Makan
dan minumlah tapi jangan berlebihan, sesungguhnya Allah tidak mencintai
orang-orang yang berlebihan.” (Al-A’raf: 31)
Dalam
waktu yang sama, batas kewajaran dalam Islam menentukan agar tidak sampai
tingkat kekikiran dan menghalangi hak yang wajib serta dianjurkan.
“Jika
dikatakan kepada mereka, “Nafkahkanlah sebagian rezeki yang telah Allah berikan
kepadamu,” maka berkatalah orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman,
“Haruskah kami member makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki,
tentu Dia akan member makan kepadanya, tiadalah kamu kecuali dalam kesesatan
yang nyata.” (Yasin: 47)
“Barangsiapa
yang dipelihara dari sifat kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Waspadalah terhadap kezaliman karena
kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat, dan jagalah dirimu dari kebakhilan
karena kebakhilan itulah yang membinasakan orang-orang sebelum kamu, ia telah
mendorong mereka untuk menumpahkan darah dan menghalalkan kehormatan mereka.”
(HR. Muslim)
Di
samping itu, batas kewajaran dalam usaha yang halal adalah dilakukannya suatu
hal pada bidang dan cara yang legal. Dalam hadits dikatakan, “Akan dating
kepada manusia suatu masa yang sesorang tidak peduli dari mana ia memperoleh
harta, dari sumber yang halal atau haram.” (HR. Bukhari)
Dengan
prinsip-prinsip ini jelaslah kemoderatan pandangan Islam terhadap harta dan
tata cara mendapatkannya dengan meawjibkan berusaha, juga piawai dalam mengatur
dan mengembangkannya. Ia memuji orang yang bersyukur lagi menggunakan hartanya
untuk kemanfaatan umat manusia dan mencari ridha Allah.
Dalam
Islam tidak ada satu pun ajaran yang mendorong manusia kepada kefakiran,
kesengsaraan, dan memahamai zuhud dengan tidak sebagaimana mestinya. Ayat
maupun hadits mencela dunia, harta, kecukupan, dan kekayaan yang hanya
mengantarkan kepada sikap melampai batas, menimbulkan fitnah, berlebihan,
digunakan untuk maksiat, dosa, dan mengingkari nikmat. Dalam hadits disebutkan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sebaik-baik harta
yang baik adalah milik orang yang baik.” (HR. Ahmad)
“Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasanmu) yang dijadikan oleh Allah sebagai pokok
kehidupan. “(An-Nisa’: 5)
Bahkan
kita mengetahui Islam mencela kemiskinan, menjelaskan berbagai akibat buruknya,
membencinya, dan menyuruh kita berlindung darinya. Dalam hadits Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan doa, “Ya Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepadamu dari kekafiran dan kefakiran.” (HR. Abu Dawud)
Dalam
Islam, harta merupakan salah satu sarana kebaikan dalam kehidupan. Karena itu
ia menyebutnya sebagai khair (kebaikan) dalam beberapa ayat. Di antaranya,
“Diwajibkan atas kamu, apabila sesorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak (al-khair), berwasiat untuk
ibu bapak dan karib kerabat secara ma’ruf.” (Al-Baqarah: 180)
“Dan
sesungguhnya manusia sangat bakhil karena cintanya kepada harta (khair).”
(Al-‘Adiyat: 8)
Firman-Nya
melalui lisan nabi Musa ‘Alaihis Salam, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat
memerlukan suatu kebaikan (khair) yang Engkau turunkan kepadaku.” (Al-Qashash:
24)
Menurut
sebagian besar mufasirin, al-khair pada
ayat-ayat tersebut berarti harta. Karena itu banyak kewajiban dan kebajikan
yang dikaitkan dengan harta. Islam mendorong
agar kita berlomba-lomba menginfakkan harta dalam amal kebajikan untuk
memperoleh derajat tertinggi di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman,
“Orang-orang
yang menafkahkan hartanya di malam maupun siang hari secara tersembunyi dan
terang-terangan, maka mereka mendapatkan pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada
kekhawatiran atas mereka dan tidak pula bersedih hati.” (Al-Baqarah: 274)
“Perumpamaan
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir terdapat
seratus biji. Allah melipatgandakan pahala bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan
Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 261)
Demikianlah,
dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa Islam adalah materi dan
kekayaan, usaha dan kecukupan. Wallahu a’lam.
Oleh : ABDULLAH BIN QASIM AL WASYLI, SYARAH USHUL 'ISYRIN