Fiqih Dakwah dalam Al Qur’an
Dalam dinamika dakwah, kadang ada
aktivitas tertentu yang memerlukan publisitas dalam rangka memberikan
informasi kepada masyarakat tentang kinerja gerakan dakwah yang telah
banyak melakukan upaya perbaikan. Tidak bisa dipungkiri, media sangat
mengendalikan persepsi masyarakat saat ini. Suatu kejahatan bisa
dicitrakan sebagai sosok pahlawan karena bangunan media. Sebaliknya,
para pelaku kebaikan bisa dicitrakan sebagai sosok pecundang karena
opini media.
Selain memberikan informasi, publisitas
juga dimaksudkan sebagai upaya memberikan pendidikan, inspirasi, dan
motivasi bagi semua kalangan untuk melakukan kebaikan dan berlomba-lomba
memperbanyak kontribusi positif di tengah kehidupan masyarakat. Sangat
banyak pelajaran dan hikmah yang bisa diambil dari para aktivis dakwah,
namun seringkali tenggelam tidak banyak diketahui publik, karena tidak
adanya unsur publisitas. Sementara ada tokoh politik tertentu yang
sekali-kalinya naik kereta api atau bus kota, diberitakan headline
berhari-hari di berbagai media.
Saya sempat tertegun mendengar informasi
tentang mahalnya pencitraan. Seorang tokoh politik, karena ingin
mendapatkan pencitraan tentang kesederhanaan, maka ia rela mengeluarkan
dana ratusan milyar rupiah guna tampil di televisi dan media massa
lainnya. Betapa ironis, citra sederhana yang ingin didapatkan, dibangun
dengan biaya ratusan milyar rupiah. Sudah pasti, konstituen tidak pernah
mengetahui hal itu. Mereka hanya memuji-muji sang tokoh yang sederhana
dan bersahaja, tanpa mengetahui berapa biaya yang dikeluarkan untuk itu.
Banyak kalangan tokoh aktivis dakwah
yang hidup dan kegiatannya jauh dari publisitas. Mereka adalah
orang-orang yang ikhlas berbuat dan bekerja karena Allah, bukan berharap
pujian manusia. Mereka menjaga diri agar tidak rusak amal yang telah
mereka lakukan, karena pengaruh perasaan riya yang berkembang dalam
jiwa. Untuk itu mereka lebih suka menjauhkan diri dari publisitas, dan
hidup dalam kesunyian walau kontribusi mereka untuk perbaikan masyarakat
sangat besar.
Namun di sisi lain, karena tidak
terpublikasikan oleh media, maka kesederhanaan, kebersahajaan, dan
kesungguhan mereka dalam memperbaiki masyarakat tidak diketahui banyak
kalangan. Ketika muncul beberapa tokoh politik yang menjadi ikon
kesederhanaan, banyak masyarakat bertanya, mengapa itu tidak muncul dari
kalangan aktivis dakwah? Salah satu jawabannya adalah karena faktor
publisitas. Para aktivis dakwah sepi dari publisitas sehingga kiprah
mereka tidak diketahui masyarakat luas.
Muncul pertanyaan, apakah publisitas
bertentangan dengan makna keikhlasan? Apakah amal yang ikhlas harus
selalu disembunyikan? Al Qur’an memberikan gambaran dua kondisi shadaqah
(sedekah), yang keduanya bernilai baik dan lebih baik. Tidak ada yang
dicela atau disalahkan. Perhatikan ungkapan ayat berikut:
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu),
maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu
berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik
bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian
kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al Baqarah : 271).
Dari ayat di atas, kita mendapatkan beberapa pelajaran fiqih dakwah sebagai berikut:
1. Dibolehkannya menampakkan amal
Al Qur’an menyatakan, “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali”. Suatu
sedekah atau pemberian kepada orang-orang yang memerlukan dengan
menampakkan atau mempublikasikan adalah suatu tindakan yang dibolehkan,
tidak dilarang. Bahkan dikatakan sebagai “baik sekali”, bukan saja baik.
Dalam hal ini, sedekah yang ditampakkan bukanlah sesuatu yang tercela
atau dilarang.
Al Qur’an juga menyebut umat Nabi Saw sebagai sebaik-baik umat yang dihadirkan untuk seluruh manusia:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari
yang munkar, dan beriman kepada Allah” (Ali Imran: 110).
Kebaikan ini akan memiliki makna yang
memberikan banyak dorongan motivasi dan inspirasi bagi masyarakat luas,
jika ditampakkan, bukan disembunyikan.
2. Menyembunyikan amal karena menghindari riya’
Ada kalanya sedekah harus disembunyikan,
jika dengan menampakkan akan menimbulkan riya dan menyakiti perasaan
orang-orang yang mendapatkan bagian sedekah tersebut. Al Qur’an
menyatakan, “Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu”.
Riya’ adalah berkembangnya motivasi
semata-mata ingin mendapat pujian dari manusia atas apa yang
dilakukannya. Namun menyembunyikan amal tidak identik dengan ikhlas,
karena ikhlas bukanlah soal teknis menampakkan atau menyembunyikan.
Ikhlas adalah dorongan yang kuat dalam jiwa, yang menjadi sumber
motivasi dalam melakukan sebuah amal atau dalam meninggalkan amal
tersebut.
Sebagian ulama salaf menyatakan,
“Beramal karena manusia itu syirik, sedangkan meninggalkan amal karena
manusia itu riya”. Ini menandakan bahwa ikhlas itu bermakna dorongan
yang menyebabkan melakukan atau meninggalkan suatu amal semata-mata
karena Allah, apakah amal itu ditampakkan atau disembunyikan.
3. Keharusan bekerja dengan ikhlas
Semua aktivitas yang kita lakukan
hendaknya didasari dengan niat yang ikhlas karena mengharap ridha dan
pahala dari Allah, bukan dari manusia. Cukuplah kita yakin, bahwa semua
yang kita lakukan berada dalam pengawasan dan pengetahuan Allah,
sebagimana firmanNya, “dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Syaikh Hasan Al Bana menegaskan, “Yang
dimaksud dengan ikhlas ialah seorang muslim menunjukkan segala
perkataan, amal dan jihadnya semata-mata mencari ridha Allah dan
ganjaran baik-Nya, tidak memandang keuntungan duniawi, kedudukan,
pangkat, gelar, dan semacamnya. Karena itu ia akan menjadi manusia
pembela cita-cita dan aqidah, bukan kepentingan (interest)
pribadi.”
4. Menampakkan amal tidak menghilangkan keikhlasan
Kebolehan menampakkan sedekah ini
menandakan, amal yang ditampakkan tidak berarti menghilangkan nilai
keikhlasan atau merusakkannya. Yang membuat rusaknya amal adalah sikap
riya dan mengharap keridhaan manusia dengan jalan memamerkan berbagai
aktivitas kebaikan. Berbangga-bangga dengan pujian manusia dan
melalaikan hakikat niat yang tulus ikhlas mengharap ridha Allah.
Sebagaimana telah dinyatakan di depan,
bahwa menyembunyikan amal itu tidak identik dengan ikhlas, maka
menampakkan amal juga tidak identik dengan riya atau tidak ikhlas.
Dengan demikian, jika publisitas adalah upaya untuk memberikan informasi
yang positif, memberikan inspirasi kebaikan, memberikan motivasi
beramal salih, dan memberikan pencitraan positif bagi dakwah, maka hal
itu adalah sebuah keharusan.
Wallahu a’lam bish shawab.
Referensi :
Muhammad Haniff Hassan, Fiqh Dakwah dalam Al Qur’an, IIFSO Malaysia – Singapore, 2004
Oleh : Cahyadi Takariawan - Hasanalbanna