Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam selalu
berdo’a: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan
berikanlah rizki dan buah-buahan kepada penduduknya yang beriman
diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian”. Allah berfirman: “Dan
kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku
paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”
(QS Al Baqarah [2]:126).
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat
selalu membutuhkan adanya pemimpin. Dalam kehidupan rumah tangga,
diperlukan adanya pemimpin atau kepala keluarga, begitu pula halnya di
masjid sehingga shalat berjamaah bisa dilaksanakan dengan adanya orang
yang bertindak sebagai imam, bahkan perjalanan yang dilakukan oleh tiga
orang muslim, harus mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai
pemimpin perjalanan.
Ini semua menunjukkan betapa penting
kedudukan pemimpin dalam suatu masyarakat, baik dalam skala kecil
apalagi dalam skala besar seperti wilayah provinsi dan negara. Untuk
tujuan memperbaiki kehidupan yang lebih baik, seorang muslim tidak boleh
mengelak dari tugas kepemimpinan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
مَنْ وُلِيَ مِنْ أَمْرِ النَّاسِ شَيْئًا فَاحْتَجَبَ عَنْ أُوْ لِى الضَّعْفِ وَالْحَاجَةِ، إِحْتَجَبَ اللهُ عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Barangsiapa diserahkan kekuasaan urusan
manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang yang
membutuhkannya, maka Allah akan mengindahkannya pada hari kiamat.” (HR.
Ahmad)
Di dalam Islam, pemimpin kadangkala
disebut imam tapi juga khalifah. Dalam shalat berjamaah, imam berarti
orang yang di depan. Secara harfiyah, imam berasal dari kata amma,
ya’ummu yang artinya menuju, menumpu dan meneladani.
Ini berarti seorang imam atau pemimpin
harus selalu di depan guna memberi keteladanan atau kepeloporan dalam
segala bentuk kebaikan. Disamping itu, pemimpin disebut juga dengan
khalifah yang berasal dari kata khalafa yang berarti di belakang,
karenanya khalifah dinyatakan sebagai pengganti karena memang pengganti
itu dibelakang atau datang sesudah yang digantikan.
Kalau pemimpin itu disebut khalifah, itu
artinya ia harus bisa berada di belakang untuk menjadi pendorong diri
dan orang yang dipimpinnya untuk maju dalam menjalani kehidupan yang
baik dan benar sekaligus mengikuti kehendak dan arah yang dituju oleh
orang yang dipimpinnya kearah kebenaran.
Di samping itu, pemimpin disebut juga
dengan ra’un yang artinya gembala, karena seorang gembala biasanya
sangat bertanggungjawab terhadap gembalaannya, baik makan dan minumnya
maupun keamanan serta kelangsungan hidupnya.
Dari pengantar di atas, terasa dan
terbayang sekali betapa dalam pandangan Islam pemimpin itu memiliki
kedudukan yang sangat penting, karenanya siapa saja yang menjadi
pemimpin tidak boleh dan jangan sampai menyalahgunakan kepemimpinannya
untuk hal-hal yang tidak benar. Karena itu, para pemimpin dan
orang-orang yang dipimpin harus memahami hakikat kepemimpinan dalam
pandangan Islam.
Kriteria Pemimpin.
Karena begitu besar tanggungjawab
seorang pemimpin dalam Islam, maka manakala kita harus memilih seorang
pemimpin, harus dengan kriteria yang seideal mungkin.
Adapun diantara kriteria seorang pemimpin di dalam Islam antara lain;
Pertama, memiliki
aqidah yang kokoh dan pemahaman terhadap ajaran Islam yang memadai
sehingga dengan modal ini seorang pemimpin akan selalu terikat kepada
Allah subhanahu wa ta’ala dalam segala aspek kehidupannya.
Karenanya bila ada pemimpin yang muslim
dan telah menunjukkan ketaatannya, tidak dibenarkan bagi kita memilih
yang bukan muslim sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti
dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya.
Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS Ali Imran [3]:28).
Kedua, memiliki daya
ingat yang kuat, cerdas, berwawasan yang luas, berpandangan ke masa
depan yang baik, memiliki ketajaman berpikir dan mampu menganalisa
dengan baik berbagai persoalan yang dihadapi.
Ketiga, sabar, penyantun, ramah dan lemah lembut sehingga segala persoalan tidak dihadapai secara emosional.
Keempat, benar dan
dapat dipercaya, baik ucapan maupun perbuatannya, sebab manakala seorang
pemimpin sudah tidak bisa dipercaya oleh orang yang dipimpinnya, akan
sangat sulit baginya mencapai tujuan.
Kelima, tawadhu atau
rendah hati, sehingga dengan sifat ini seorang pemimpin tidak akan
berlaku sombong kepada orang yang dibawahinya dan tidak akan minder
kepada orang yang lebih tinggi darinya dalam hal yang sifatnya duniawi.
Keenam, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan berbagai lapisan masyarakat, baik komunikasi lisan maupun tulisan.
Ketujuh, memiliki
pendirian yang teguh dalam arti bila kebenaran sudah dipegang dan hendak
dilaksanakan, maka dia akan terus berpendirian terhadap kebenaran itu.
Kedelapan, bersikap dan bertindak adil sehingga yang salah akan disalahkan dan yang benar dibenarkan.
Kesembilan, selalu optimis akan keberhasilan usahanya.
Kesepuluh, memiliki
kondisi fisik yang sehat atau memiliki daya tahan tubuh yang kuat
sehingga tugas-tugas seorang pemimpin bisa dilaksanakan dengan baik
karena salah satunya ditunjang dengan fisik yang sehat.
Pemimpin Yang Baik dan Buruk.
Pemimpin yang baik akan membawa
kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, sedangkan pemimpin yang buruk
akan membawa kehidupan masyarakat yang dipimpinnya menjadi lebih buruk.
Para pemimpin dan calon-calon pemimpin
harus mengetahui dan memahami seperti apa pemimpin yang baik dan
pemimpin yang buruk agar ia bisa menjadi pemimpin yang baik bukan malah
menjadi pemimpin yang buruk.
Dalam keterangan yang sederhana,
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan gambaran tentang
pemimpin yang baik dan pemimpin yang buruk dalam satu haditsnya:
خِيَارُ اَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْ نَكُمْ وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ
“Sebaik-baik pemimpin adalah orang yang
kalian cintai dan mereka mencintai kalian. Mereka mendo’akan kalian dan
kalian juga mendo’akan mereka.” (HR. Muslim).
Dari hadits di atas, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan gambaran tentang pemimpin yang
baik bahkan yang terbaik dengan memiliki dua keriteria.
Pertama, mencintai rakyat dan dicintai rakyat.
Manakala pemimpin mencintai rakyatnya,
maka segala usaha yang dilakukan oleh pemimpin adalah untuk kebaikan
rakyat dengan cara-cara yang baik.
Pemimpin yang mencintai rakyat tidak rela dan tidak akan membiarkan rakyatnya menderita sementara ia dalam keadaan senang.
Pemimpin yang mencintai rakyatnya tidak
akan membiarkan rakyat terjerat dalam berbagai persoalan hidup tanpa
usaha untuk memecahkan dan mengatasi masalah itu.
Pemimpin yang mencintai rakyat akan
melindungi rakyatnya dari berbagai macam gangguan sehingga rakyatnya
berada dalam keamanan dan ketenangan dimanapun mereka berada.
Pemimpin yang mencintai rakyat akan
selalu berusaha memenuhi hak-hak rakyatnya serta memberikan fasilitas
yang memadai, hak untuk hidup, hak beribadah, hak mendapatkan rizki, hak
menuntut ilmu dan sebagainya.
Tegasnya, pemimpin yang mencintai
rakyatnya adalah pemimpin yang mau melayani rakyat dengan sebaik-baiknya
sehingga rakyat dapat menjalani kehidupan yang baik, lahir dan batin.
Manakala pemimpin telah menunjukkan
kecintaan kepada rakyatnya, tidak ada alasan bagi rakyat untuk tidak
bisa mencintai pemimpinnya. Karena itu, bila rakyat mencintai
pemimpinnya, rakyat akan selalu memberikan dukungan atas kepemimpinan
yang dijalankan, rakyat taat kepada pemimpin dalam perkara-perkara yang
benar dan mereka tidak ragu-ragu dan tidak takut-takut untuk menegur,
menasihati atau mengkritik pemimpinnya bila melakukan tindakan yang
salah.
Rakyat yang mencintai pemimpinnya tidak
ingin melihat pemimpinnya melakukan kesalahan. Rakyat akan selalu
bersama pemimpin dalam suka dan duka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bersabda:
عَلَيْكَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فىِ عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَاَثِرَةٍ عَلَيْكَ
“Hendaklah kamu mendengar, patuh dan
taat (kepada pemimpin) dalam masa senang (mudah dan lapang), dalam
kesulitan dan kesempitan, dalam hal yang kamu suka maupun hal yang kamu
tidak suka meskipun hal itu merugikan kepentinganmu.” (HR. Muslim dan
Nasa’i).
Bila pemimpin sudah memberikan perhatian
kepada rakyat karena cintanya yang begitu besar dan dalam, maka iapun
pasti menginginkan segala kebaikan bagi rakyatnya. Untuk itu, sebagai
seorang muslim ia selalu berdo’a dan salah satu muatan dalam do’anya
adalah mengharapkan kebaikan bagi rakyatnya.
Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala
mengingatkan Nabi Ibrahim bahwa berdo’a itu bukan hanya untuk kebaikan
rakyatnya yang muslim, rakyat yang kafirpun akan diberikan oleh Allah
subhanahu wa ta’ala kesenangan di dunia ini.
Sebagai seorang pemimpin, Nabi Ibrahim
‘Alaihis Salam selalu berdo’a: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini
negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rizki dan buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari
kemudian.”
Allah berfirman: “Dan kepada orang yang
kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani
siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali” (QS Al Baqarah
[2]:126).
Setelah menggambarkan ciri pemimpin yang
baik, hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam juga menjelaskan tentang
gambaran pemimpin yang buruk, bahkan terburuk dengan sabdanya:
وَشِرَارُ اَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيَبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ
“Dan seburuk-buruk pemimpin adalah orang
yang kalian benci dan merekapun membenci kalian, mereka kalian kutuk
dan mereka mengutuk kalian.” (HR. Muslim).
Dari hadits di atas, Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengemukakan dua gambaran tentang pemimpin
yang buruk, bahkan seburuk-buruk pemimpin.
Pertama, dibenci rakyat dan membenci rakyat.
Ini merupakan sesuatu yang sangat menakutkan dan tidak membahagiakan.
Pemimpin menjadi sangat buruk apabila ia
membenci rakyatnya, akibatnya ia tidak suka bila rakyatnya mencapai
kemajuan, karena kemajuan rakyat akan menjadi saingan bagi pemimpin.
Pemimpin yang membenci rakyatnya juga
tidak suka bila rakyatnya memiliki ilmu yang banyak dan kecerdasan
berpikir, karena dengan begitu pemimpin yang buruk itu tidak bisa lagi
membodohi rakyatnya, bahkan pemimpin seperti ini tidak ragu-ragu untuk
membunuh rakyatnya sendiri, itulah yang pernah dilakukan oleh Fir’aun
laknatullah yang mengeluarkan kebijakan membunuh setiap bayi laki-laki,
karena anak laki-lakilah yang kelak berpotensi menjadi pemimpin yang
bisa jadi akan menggeser posisi kepemimpinannya.
Kedua, mengutuk rakyat dan dikutuk rakyat.
Di dunia ini, kita dapati pemimpin
seperti ini, pemimpin yang mengutuk dan mencaci maki rakyat yang
sebenarnya menjadi tanggungjawabnya. Bila pemimpin bersikap demikian,
tidak ada yang dipikirkan dan diusahakan melainkan keburukan bagi
rakyatnya, kecuali bagi rakyat yang mau menuruti kehendak-kehendaknya
yang tidak benar.
Manakala pemimpin suka mengutuk
rakyatnya, maka rakyatpun akhirnya mengutuk para pemimpinnya, meskipun
kutukan itu tidak diungkapkan secara terbuka, karena resiko yang tidak
menyenangkan akan menimpa mereka.
Dari uraian yang singkat ini, dapat kita
simpulkan bahwa bila suatu masyarakat dan bangsa memiliki pemimpin yang
baik, kebahagiaan akan diperoleh, tidak hanya bagi sang pemimpin dan
keluarganya, tapi juga bagi rakyat yang dipimpinnya, baik di dunia
maupun di akhirat.
Sebaliknya bila pemimpin buruk, maka
ketidaktenangan dan kekacauan akan melanda kehidupan, tidak hanya bagi
rakyat yang dipimpin, tapi juga bagi pemimpin itu sendiri serta
keluarganya. Dalam konteks kehidupan kita sekarang, memiliki pemimpin
yang bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan harga mati yang
tidak bisa ditawar lagi, suara kita ikut menentukan.
Oleh : Ustadz Ahmad Yani
Sumber : Hasanalbanna