"Dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata dia, "Aku bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam: "Wahai Rasulallah, siapakah orang yang
paling besar haknya atas seorang wanita? Beliau menjawab: "Suami wanita
itu." Aku bertanya lagi: "Siapakah yang paling besar haknya atas
seorang laki-laki?" Rasulullah menjawab: "Ibu laki-laki itu."
(Hadis Riwayat Imam Hakim, dalam kitab Al Mustadrak jilid 4 halaman 150).
Islam telah
mengatur segala bentuk ketaatan kepada manusia dengan aturan yang sangat baik. Ini
disebut sebagai “al Birr”. Seorang anak mesti taat kepada kedua orang tuanya
disebabkan Allah telah memerintahkannya. Orang tua dengan bentuk cinta telah
melahirkan, mendidik, merawat, serta memilihkan lingkungan yang baik buat putra
dan putrinya.
Saat dewasa,
tatkala usia pantas menikah telah sampai, maka bagi wanita, bentuk ketaatannya
bertambah dari yang sebelumnya kepada kedua orang tua, lalu mesti taat kepada
suami mereka. Ketaatan mereka kepada suami merupakan ketaatan yang utama
setelah mereka menikah.
Ketaatan istri
kepada suami diharapkan melahirkan keridhaan suami atas mereka. Ada berkah bagi
para istri yang memperoleh ridha dari suami, di antaranya adalah mereka akan
memperoleh surga dari Allah atas keridhaan suaminya.
إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ
شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ
أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.”
Dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا
رَاضٍ عَنْهَا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita (istri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha kepadanya niscaya ia akan masuk surga.”
At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا لِأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ
لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan.”
Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan lafadznya:
لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ
لِأَزْوَاجِهِنَّ، لِمَا جَعَلَ اللهُ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحُقُوْقِ
“…niscaya aku perintahkan para istri untuk sujud kepada suami mereka dikarenakan kewajiban-kewajiban sebagai istri yang Allah bebankan atas mereka.”
Dalam Al-Musnad dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ
لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ
أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَاَّلذِي نَفْسِيْ
بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قَرْحَةً تَجْرِي
بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلحسَتْهُ مَا أَدّّتْ حَقَّهُ
“Tidaklah pantas bagi seorang
manusia untuk sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas/boleh bagi
seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku perintahkan istri
untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya. Demi
Zat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya pada telapak kaki sampai
belahan rambut suaminya ada luka/borok yang mengucurkan nanah bercampur darah,
kemudian si istri menghadap suaminya lalu menjilati luka/borok tersebut niscaya
ia belum purna menunaikan hak suaminya.”Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibnu Majah, dari Aisyah radhiyallahu‘anha dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ
لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً
أَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ تَنْقُلَ مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ،
وَمِنْ جَبَلٍ أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكاَنَ لَهَا أَنْ تَفْعَلَ
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Seandainya seorang suami memerintahkan istrinya untuk pindah dari gunung merah menuju gunung hitam dan dari gunung hitam menuju gunung merah maka si istri harus melakukannya.”
Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibnu Majah, dan Shahih Ibnu Hibban dari Abdullah ibnu Abi Aufa radhiyallahu‘anhu, ia berkata:
لمَاَّ قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّام
ِسَجَدَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: مَا هذَا يَا مُعَاذُ؟ قَالَ:
أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَجَدْتُهُمْ يَسْجُدُوْنَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ
وَبَطَارِقَتِهِمْ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ تَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ يَا
رَسُوْلَ اللهِ .فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ تَفْعَلُوا
ذَلِكَ، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللهِ
لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ
بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ
زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأََلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
Tatkala Mu’adz datang dari bepergiannya ke negeri Syam, ia sujud kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menegur Mu’adz, “Apa yang kau lakukan ini, wahai Mu’adz?”
Mu’adz menjawab, “Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya) sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan engkau lakukan hal itu, karena sungguh andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang istri tidaklah menunaikan hak Rabbnya sampai ia menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya dalam keadaan ia berada di atas pelana (hewan tunggangan) maka ia tidak boleh menolaknya.”
Dari Thalaq bin Ali, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ دَعَا زَوْجَتَهُ
لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَلَوْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ
“Suami mana saja yang memanggil istrinya untuk memenuhi hajatnya maka si istri harus/wajib mendatanginya (memenuhi panggilannya) walaupun ia sedang memanggang roti di atas tungku api.”
Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Shahih-nya dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan.”
Dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى
فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْئَ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا
الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri menolak untuk datang, lalu si suami bermalam (tidur) dalam keadaan marah kepada istrinya tersebut, niscaya para malaikat melaknat si istri sampai ia berada di pagi hari.”
Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suami adalah tuan (bagi istrinya) sebagaimana tersebut dalam Kitabullah.” Lalu ia membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ
“Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu.” (Yusuf: 25)
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nikah itu adalah perbudakan. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat/memerhatikan kepada siapa ia memperbudakkan anak perempuannya.”
Dalam riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا،
فَإِنَّمَا هُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ
“Berwasiat kebaikanlah kalian kepada para wanita/istri karena mereka itu hanyalah tawanan di sisi kalian.”
Inilah beberapa hal alasan mengapa ridha suami atas istri akan membawa para istri ke surga :
Pertama, suamimu dibesarkan oleh ibu yang mencintainya seumur
hidup. Namun ketika dia dewasa, dia memilih mencintaimu yang bahkan belum tentu
mencintainya seumur hidupmu, bahkan sering kali rasa cintanya padamu lebih
besar daripada cintanya kepada ibunya sendiri.
Kedua, suamimu dibesarkan sebagai
lelaki yang ditanggung nafkahnya oleh ayah dan ibunya hingga dia beranjak
dewasa. Namun sebelum dia mampu membalasnya, dia telah bertekad menanggung
nafkahmu, perempuan asing yang baru saja dikenalnya dan hanya terikat dengan
akad nikah tanpa ikatan rahim seperti ayah dan ibunya.
Ketiga, suamimu ridha menghabiskan waktunya untuk mencukupi
kebutuhan anak- anakmu serta dirimu. Padahal dia tahu, di sisi Allah, engkau
lebih harus di hormati tiga kali lebih besar oleh anak-anakmu dibandingkan
dirinya. Namun tidak pernah sekalipun dia merasa iri, disebabkan dia mencintaimu
dan berharap engkau memang mendapatkan yang lebih baik daripadanya di sisi
Allah.
Keempat, suamimu berusaha menutupi masalahnya dihadapanmu dan
berusaha menyelesaikannya sendiri. Sedangkan engkau terbiasa mengadukan
masalahmu pada dia dengan harapan dia mampu memberi solusi. padahal bisa saja
disaat engkau mengadu itu, dia sedang memiliki masalah yang lebih besar. namun
tetap saja masalahmu diutamakan dibandingkan masalah yang dihadapi sendiri.
Kelima, suamimu berusaha memahami
bahasa diammu, bahasa tangisanmu. sedangkan engkau kadang hanya mampu memahami
bahasa verbalnya saja. Itupun bila dia telah mengulanginya berkali-kali.
Kelima, Bila engkau melakukan
maksiat, maka dia akan ikut terseret ke neraka, karena dia ikut bertanggung
jawab akan maksiatmu. Namun bila dia bermaksiat, kamu tidak akan pernah dituntut
ke neraka. karena apa yang dilakukan olehnya adalah hal-hal yang harus
dipertanggungjawabkannya sendiri.
Penulis : dr. Ramadhanus, Pemerhati dan
Penggagas Pendidikan Keluarga, Direktur dan Trainer Gradasi Learning Institute.
Diambil dari berbagai sumber.