Oleh: Muhaimin Iqbal
KETIKA para ulama masih berdebat tentang keharaman
rokok, bunga bank dan produk-produk keuangan lainnya sudah sejak 8 tahun
lalu diputus sebagai riba yang haram oleh kesepakatan para ulama
melalui fatwa no 1 tahun 2004 MUI. Ironinya adalah perilaku yang ada di
masyarakat terhadap rokok ini seolah jauh lebih berbahaya dari riba.
Berbagai elemen masyarakat memusuhi rokok habis-habisan, tetapi nyaris tidak ada yang memusuhi riba.
Di gedung-gedung mewah Jakarta, di tempat-tempat umum - para perokok
diasingkan di dalam kotak-kotak kaca atau malah diluar gedung – seolah
mereka adalah makhluk yang berbahaya dan menular - maka harus dijauhi.
Sebaliknya riba, perusahaannya yang memproduksi dan menjual riba
memiliki gedung-gedung paling mewah, nasabah-nasabahnya dilayani bak
raja (khusunya yang prioritas) , kantor-kantornya dikerubuti ribuan
nasabahnya. Nasabahnya bahkan dilindungi dengan uang pemerintah yang
juga uang rakyat – sama sekali tidak ada yang melihat bahaya riba ini.
Riba bukannya dijauhi, malah difasilitasi.
Penjualan rokok dibatasi, iklan-iklan mereka harus mencantumkan bahwa
rokok berbahaya bagi kesehatan. Penjualan riba di dorong, mereka boleh
beriklan segede-gedenya dengan terus terang menyebutkan bunga… %,
padahal bunga inilah yang diputus para ulama sebagai riba. Bolehkan
mereka beriklan bunga=riba …%?
Kalau ada barang haram yang bebas dijual sebebas-bebasnya di negeri
yang mayoritas penduduknya Muslim ini, itulah riba. Bila ada restoran
menjual babi dalam menunya – serta merta mereka dijauhi. Bila ada
penyedap makanan yang diisukan mengandung babi, serta-merta dijauhi.
Tetapi mengapa untuk suatu produk yang sudah jelas-jelas ada fatwanya
sebagai riba yang haram – tidak kita jauhi?
Bila berbagai LSM dan
NGO membela konsumen dan masyarakat agar tidak terkena dampak penyakit
sebagai perokok pasif, siapa yang membela umat ini dari bahaya yang
lebih besar yaitu dampak dari Riba?
Mengapa konsumen mayoritas yang muslim ini tidak mendapatkan
perlindungan yang semestinya dari produk yang sudah tidak lagi
diperdebatkan tentang keharaman/riba-nya?
Saya tidak membela rokok, tetapi hanya ingin memberi gambaran yang
adil bahwa seharusnya riba minimal sama dijauhinya, sama dibatasi
peredarannya, sama diingatkan konsumennya, sama dilindungi masyarakat
dari korbannya dst. sebagaimana perlindungan konsumen dan masyarakat
dari bahaya produk rokok.
Untuk fairnya terhadap lembaga-lembaga seperti perbank-an, asuransi
dlsb. banyak di antara produk mereka yang bermanfaat juga, yang harus
dijauhi kan hanya yang mengandung riba – baik yang muncul ketika kita
menabung/investasi ataupun yang muncul ketita menerima pinjaman.
Maka yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga ini dengan bantuan MUI
adalah melabeli produk-produk mereka sesuai dengan kondisi kehalalan dan
keharamannya.
Hal ini sudah dilakukan di supermarket-supermarket dan hotel-hotel,
dimana mereka memberi cap kepala babi untuk produk yang tidak halal. Di
bank, asuransi dan lembaga-lembaga keuangan termasuk koperasi – mereka
bisa memberi label mana yang halal dan mana yang haram – mengikuti
guidance atau supervisi langsung dari MUI yang telah mengeluarkan fatwa
riba sejak 8 tahun lalu tersebut.
Riba tidak lebih aman dari rokok, bagi pelaku maupun dampaknya bagi
masyarakat. Mengapa kita tidak melakukan pencegahan-pencegahan yang
minimal sama dengan yang sudah dilakukan untuk rokok? Siapa yang mau
membela konsumen muslim yang mayoritas di negeri ini dari bahaya riba?
MUI mestinya bisa me-lead untuk urusan ini, yang mereka perlu lakukan
hanyalah mensosialisasikan seluasnya fatwa yang sudah mereka keluarkan 8
tahun lalu itu. Wa Allahu A’lam.*
Penulis adalah Direktur Gerai Dinar, kolumnis hidayatullah.com