Jakarta – Banyak orang yang senang dan gampang menyebut kata
legowo. Tetapi tidak banyak orang yang bisa melakukannya dengan nyata.
Tidak
banyak orang yang bisa menerima kekalahan dengan cepat. Sangat jarang
pula orang yang bisa mengapresiasi kemenangan lawan dan mengucapkan
selamat atas kemenangan lawannya dengan segera. Dalam hal apa pun.
Bahkan dalam pertandingan olah raga sekalipun, yang senantiasa
menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas.
Tidak demikian dengan
Fauzi Bowo. Segera setelah melihat hasil perhitungan cepat (quick count)
hasil pemungutan suara dalam pemilihan umum kepala daerah (gubernur)
Jakarta, Kamis (20/9/2012) sore, Fauzi Bowo langsung menelpon rival
beratnya Joko Widodo. Fauzi Bowo mengucapkan selamat dan menitipkan
Jakarta kepada Jokowi, calon penggantinya itu. “Semoga cita-cita membawa
Jakarta Baru dapat terwujud. Saya menitipkan Jakarta kepada Pak
Jokowi,” ujar Fauzi, anak Betawi itu.
Saat itu, Jokowi-Ahok memang
sudah mengungguli pasangan Fauzi-Nachrowi. Berdasarkan perhitungan
cepat lembaga-lembaga survei, suara yang sudah masuk sekitar 90 persen.
Perolehan suara Jakowi-Ahik berkisar 53-57 persen. Beda tipis dengan
perolehan suara Fauzi-Nachrowi.
Cepat mengucapkan selamat kepada
lawan bukan hal mudah. Setidaknya, tim sukses Fauzi melancarkan protes,
karena menilai langkah Fauzi itu terlalu cepat. Seharusnya menunggu dulu
hasil perhitungan final Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
Di
sinilah letak ke-legowo-an, sportivitas, dan kepemimpinan, kenegarawanan
Fauzi. Juga menunjukkan dirinya sebagai umat muslim yang baik, menerima
takdir Tuhan setelah melakukan berbagai ikhtiar. Ya, Fauzi-Nachrowi
telah berikhtiar sekuat tenaga dan pikiran, menempuh berbagai upaya
untuk tetap memimpin Jakarta, namun hasilnya tidak sesuai harapannya.
Memutuskan untuk mengucapkan selamat kepada Jokowi dan menerima
kekalahan itu, juga dilakukan Fauzi setelah mengambil air wudhu dan
shalat.
Mengapa Fauzi dan Nachrowi cepat menerima kekalahan dan
mengakui kemenangan lawan? Fauzi Bowo dengan tegas menyatakan, “Kita
harus segera memberi kepastian kepada masyarakat.”
Ia menambahkan,
waktu yang tersisa bagi Jokowi untuk mengambil alih kepemimpinan
Jakarta tidak banyak. Tanggal 7 Oktober 2012 adalah jadwal pelantikan
gubernur baru. “Juga supaya mereka (pemenang-Red) segera melakukan
persiapan. Sedetik pun tidak boleh terjadi kevakuman pemerintahan
Jakarta, hanya karena kita berbeda, karena ambisi politik,” katanya.
Fauzi
Bowo tidak ingin mengorbankan kepentingan Jakarta, tanah kelahirannya,
ibu kota Negara Republik Indonesia, kebanggaan bangsa Indonesia. “Itulah
harga demokrasi yang harus kita bayar, itulah yang harus kita terima,”
katanya.
Apakah Fauzi Bowo bersedih? Jelas. Kekalahan selalu
membawa kesedihan. Tetapi menerima kekalahan adalah juga kemenangan, ya
kemenangan menekan ego, ambisi pribadi demi kemashlahatan masyarakat
Jakarta dan bangsa Indonesia. Bagaimana pun, Jakarta adalah etalase
Indonesia, dalam segala hal, termasuk dalam proses demokrasi.
Kalau
ada rasa sedih, satu hal yang paling mungkin membuat Fauzi Bowo sedih,
adalah kekalahannya di rumah sendiri. Tersingkirnya orang Betawi dari
tanah kelahirannya sendiri untuk menjadi pemimpin masyarakatnya sendiri.
Semoga ini menjadikan orang Betawi semakin bersatu, karena sekarang
tidak ada lagi representasi orang Betawi sebagai pemimpin di tanah
Betawi.
Padahal, di mana pun di seluruh penjuru nusantara ini,
semua pemimpin daerah adalah putra daerah itu sendiri. Itulah demokrasi
Indonesia Raya, sebab daerah dan orang-orang daerah dengan segala aspek
budayanya, tradisinya, seni, karakternya, suku, ras, dan agamanya,
merupakan puncak-puncak tertinggi rasa nasionalisme. Itulah pondasi dan
pilar perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itulah bhinneka
tunggal ika dalam konteks luas, itulah Pancasila.
Fauzi Bowo
segera mengakui kemenangan lawan, menerima kekalahan dengan cepat, hanya
demi masyarakat Jakarta. Seperti dikatakannya, demi Jakarta, ia siap
jungkir balik. “Kepala jadi, kaki jadi kepala,” katanya.
Sebuah
saran yang patut dipertimbangkan Fauzi Bowo, adalah setelah meninggalkan
dunia politik praktis, maka masuklah ke ranah politik strategis.
Misalnya, mendirikan Fauzi Bowo Center sebagai lembaga “think tank”.
Menggunakan keahlian dan pengalaman panjangnya untuk secara strategis
membangun Jakarta, membangun masyarakat Betawi yang semakin tergusur ke
pinggir, di tanah kelahirannya sendiri. Dengan demikian, Fauzi Bowo akan
senantiasa “hidup” dalam demokrasi Indonesia Raya.
Sumber : Inilah