Dalam bagian ini akan saya ketengahkan
beberapa sikap wanita berkaitan dengan masalah bagaimana wanita yang
telah dibebaskan oleh Islam mencapai keutamaan derajat yang sangat
tinggi serta mewujudkan banyak sekali sifat dan teladan yang mulia.
Berkorban Di Jalan Allah
Bersumber dari Shuhaib dikatakan bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda bahwa dahulu kala ada
seorang raja mempunyai tukang sihir. Setelah berusia lanjut, dia berkata
kepada raja: “Sekarang saya sudah tua, kirimkanlah seorang pemuda
kepada saya untuk saya ajari ilmu sihir.”
Raja mengirim seorang pemuda kepadanya.
Di tengah perjalanan pemuda tersebut bertemu dengan seorang pendeta lalu
dia duduk untuk mendengarkan ajaran pendeta, dan dia sangat menyenangi
ajaran tersebut. Setiap hendak mendatangi tukang sihir, terlebih dahulu
dia menemui pendeta untuk kemudian mendengarkan ajarannya. Akibatnya,
jika bertemu dengan tukang sihir, pemuda tersebut dipukuli.
Hal itu diadukannya pada pendeta, maka
pendeta berkata: “Apabila kamu khawatir dimarahi tukang sihir, katakan
bahwa keluargamu menghalang-halangimu, dan kalau kamu khawatir dimarahi
keluargamu, katakan bahwa kamu dihalang-halangi tukang sihir.” Dalam
keadaan seperti itu, dia melihat ada binatang raksasa yang merintangi
jalan orang-orang. Kemudian dia berkata: “Hari ini aku akan tahu, ajaran
siapakah yang lebih utama, tukang sihir atau pendeta.”
Kemudian dia mengambil batu seraya
berkata: “Ya Allah, jika ajaran pendeta itu lebih Engkau sukai daripada
ajaran tukang sihir, bunuhlah binatang ini sehingga orang-orang bisa
lewat.”
Lalu binatang tersebut dilemparnya
dengan batu, maka matilah binatang itu kaum orang-orang pun bisa lewat
lagi. Setelah itu dia pergi menemui pendeta dan menceritakan kejadian
tadi. Pendeta berkata, “Wahai anakku, hari ini kamu lebih mulia daripada
aku. Kini aku mengetahui apa yang telah kamu ucapkan dan kamu akan
diuji. Kalau kamu diuji, maka janganlah kamu tunjukkan aku.”
Selanjutnya pemuda tadi dapat
menyembuhkan orang buta, orang yang sakit kusta, dan segala penyakit.
Keahliannya itu terdengar oleh seorang menteri yang buta. Maka dia
dipanggil dan akan diberi banyak hadiah. Menteri itu berkata: “Jika kamu
dapat menyembuhkan aku, maka apa yang ada di sini aku berikan
kepadamu.”
Pemuda tersebut berkata: “Aku tidak
dapat menyembuhkan siapa pun. Yang dapat menyembuhkan hanyalah Allah.
Jika engkau mau beriman kepada Allah, aku akan berdoa agar Dia
menyembuhkanmu.”
Menteri mau beriman dan Allah
menyembuhkannya. Kemudian dia menghadap raja dan ikut bersidang seperti
biasanya. Sang raja bertanya kepadanya: “Siapa yang mengembalikan
penglihatanmu itu?”
Menteri menjawab: “Tuhan saya.”
Raja bertanya: “Apakah kamu mempunyai Tuhan selain aku?”
Menteri menjawab. ‘Tuhan saya dan Tuhan kamu adalah Allah.”
Maka dia ditangkap dan disiksa terus
sampai akhirnya dia menunjuk kepada pemuda. Kemudian si pemuda
diperintahkan menghadap, lalu raja berkata kepadanya: “Hai anakku, aku
telah mendengar bahwa dengan sihirmu, kamu bisa menyembahkan orang buta,
sakit kusta, dan lain-lainnya.”
Pemuda itu berkata: “Sesungguhnya saya tidak dapat menyembahkan siapa pun. Yang dapat menyembuhkan hanyalah Allah.”
Maka dia ditangkap lalu disiksa
terus-menerus sehingga akhirnya dia menunjuk pendeta. Maka pendeta
dihadapkan, lalu dikatakan kepadanya: “Keluarlah dari agamamu!”
Pendeta menolak, maka raja meminta
gergaji, lalu diletakkan di tengah-tengah kepala sang pendeta, lantas
dibelahnya tubuh pendeta sampai pinggangnya. Setelah itu menteri
dipanggil, kemudian dikatakan kepadanya: “Keluarlah dari agamamu!”
tetapi menteri menolak.
Maka dia pun dibelah sampai pinggangnya. Kemudian si pemuda dihadapkan, lalu dikatakan kepadanya: “Keluarlah dari agamamu!”
Pemuda itu menolak, maka dia diserahkan
kepada sekelompok pengikut raja, kemudian raja berkata: “Bawalah dia ke
gunung. Apabila kamu sudah sampai ke puncaknya, maka jika dia mau keluar
dari agamanya, (bawalah kembali), tetapi kalau tidak mau, lemparkanlah
dia!”
Lantas mereka membawa pemuda itu ke
puncak gunung. Maka pemuda itu berdoa: “Wahai Allah, jagalah aku dari
kejahatan mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.”
Mendadak gunung itu bergetar dan
bergoncang dengan hebat sehingga mereka jatuh dan mati. Kemudian si
pemuda menemui raja, lalu raja bertanya: “Apa yang terjadi dengan
orang-orang yang membawa kamu tadi?”
Si pemuda menjawab: “Allah melindungi aku dari kejahatan mereka.”
Maka pemuda itu diserahkan kepada
sekelompok yang lain, lalu raja berkata: “Bawalah dia dengan perahu ke
tengah laut. Kalau dia mau keluar dari agamanya, maka bawalah dia
pulang. Tetapi jika dia tidak mau, maka lemparkanlah dia ke tengah
laut!”
Lantas mereka membawa pemuda tersebut.
Kemudian pemuda itu berdoa: “Ya Allah, jagalah aku dari kejahatan mereka
dengan cara yang Engkau kehendaki.”
Maka perahu yang mereka naiki itu
terbalik dan mereka tenggelam. Kemudian pemuda itu pergi menemui raja.
Raja bertanya: “Apa yang terjadi dengan orang-orang yang membawa kamu
tadi?”
Si pemuda menjawab: “Allah melindungi
aku dari kejahatan mereka. Sesungguhnya kamu tidak dapat membunuhku
kecuali jika kamu mau melakukan apa yang aku perintahkan.”
Raja bertanya: “Apa perintahmu?”
Si pemuda berkata: “Kumpulkanlah
orang-orang di suatu tempat yang tinggi, lalu saliblah aku pada sebatang
kayu. Setelah itu ambil anak panah dari tahung anak panahku, kemudian
letakkan di tengah-tengah busur, lalu bacalah: bismillahi rabbil ghulam
(Dengan nama Allah, Tuhan si pemuda). Setelah itu baru panahlah aku.
Jika kamu mau mengerjakan perintahku itu, maka kamu dapat membunuhku.”
Raja bersedia melaksanakan perintah
pemuda tersebut Orang-orang dikumpulkan di suatu dataran tinggi, lalu
pemuda itu disalib. Setelah itu diambilnya sebatang panah dari
tahungnya, kemudian diletakkannya di tengah-tengah busur, lalu dibacalah
bismillahi rabbil ghulam. Pemuda itu dipanah tepat pada
pelipisnya. Si pemuda meletakkan tangannya di pelipisnya yang terkena
panah itu, lalu meninggal. Maka orang-orang berkata: “Kami beriman
kepada Tuhannya pemuda itu, kami beriman kepada Tuhannya pemuda itu,
kami beriman kepada Tuhannya pemuda itu.”
Setelah kejadian itu raja ditanya: “Bagaimana pendapatmu tentang apa yang kamu khawatirkan”
Sungguh telah terjadi apa yang pernah
kamu khawatirkan. Orang-orang telah beriman.” Mendengar itu raja
memerintahkan supaya dibuatkan parit di mulut jalan yang di dalamnya
dinyalakan api, lalu dia berkata kepada para pengikutnya: “Barangsiapa
yang tidak mau keluar dari agamanya, lemparkan ke dalam api itu (atau
dikatakan kepada orang tersebut: Terjunlah ke dalamnya).”
Para pengikut itu melaksanakan
perintahnya sampai akhirnya tiba giliran seorang wanita yang membawa
seorang bayi. Dia tetap berdiri di tempatnya lantaran takut terjun ke
dalam api. Maka bayinya itu berkata: “Ibu, tabahlah, karena kamu berada
di pihak yang benar!”“ (HR Muslim)
Demikianlah halnya wanita yang telah
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah sebelum masa diutusnya Nabi
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Dia lebih mengutamakan agama Allah
yang hak atas segala-galanya dan dia mengorbankan jiwa raganya dengan
harga yang murah sekali demi kepentingan agama Allah.
Sangat Mendambakan Kesempurnaan
Atha bin Rabah berkata: “Ibnu Abbas
bertanya kepadaku: ‘Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu seorang wanita
calon ahli surga?’ Aku jawab: ‘Tentu saja.’ Ibu Abbas berkata: ‘Ini,
wanita berkulit hitam ini pernah datang kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi
wa Sallam dan berkata: “Sesungguhnya aku mengidap penyakit ayan, dan aku
khawatir auratku terbuka, sementara aku tidak sadar. Maka tolonglah
doakan pada Allah agar aku sembuh.” Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
berkata: ‘Jika kamu bisa sabar menghadapinya, bagimu adalah surga, tapi
kalau kamu menginginkan kesembuhan, aku juga bisa mendoakannya kepada
Allah agar Dia berkenan menyembuhkanmu.’ Wanita itu berkata: ‘Saya akan
coba sabar.’ Setelah itu wanita itu berkata lagi: ‘Tetapi aku khawatir
auratku terbuka. Karena itu, doakanlah kepada Allah supaya auratku tidak
terbuka.’ Lantas Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakannya.” (HR
Bukhari dan Muslim)[1]
Senang Beribadah
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anh
berkata: “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk masjid. Tiba-tiba
beliau lihat ada tali yang terbentang antara dua tiang masjid. Beliau
bertanya: ‘Tali apa ini?’ Para sahabat menjawab: ‘Ini adalah tali milik
Zainab. Apabila dia sudah merasa lelah (beribadah) maka dia akan
bergantung pada tali itu.’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
‘Tidak, lepaskan tali itu. Hendaklah salah seorang dari kalian
melaksanakan shalatnya dalam keadaan segar. Kalau sudah merasa lelah,
maka hendaklah dia shalat dalam keadaan duduk.’” (HR Bukhari dan Muslim)[2]
Aisyah Berkata: “Nabi Shalallahu ‘Alaihi
wa Sallam datang menemui Aisyah. Ketika itu di samping Aisyah ada
seorang wanita. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya: ‘Siapa
wanita ini?’ ‘Si Fulanah yang sering disebut-sebut mengenai shalatnya.’
Menurut riwayat Muslim: ‘Mereka menduga bahwa wanita itu tidak tidur
pada malam harinya.’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: ‘Cukup,
laksanakanlah ibadah semampumu. Demi Allah, Allah tidak pernah bosan
sampai kamu merasa bosan sendiri.’ (HR Bukhari dan Muslim)[3]
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anh berkata:
“Seorang laki-laki datang menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
berkata kepada beliau: ‘Sesungguhnya saudara perempuanku bernazar akan
melaksanakan ibadah haji, tetapi dia sudah meninggal (sebelum sempat
melaksanakan nazarnya).’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
‘Andaikan dia mempunyai hutang, apakah kamu akan membayarnya?’ Lelaki
itu menjawab: ‘Ya.’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
‘Bayarkanlah (tunaikanlah nazarnya) kepada Allah, karena sesungguhnya
Dia lebih berhak untuk dibayar!’” (HR Bukhari)[4]
Uqbah bin Amir berkata: “Saudara
perempuanku bernazar akan berjalan ke Baitullah. Dia menyuruhku meminta
fatwa kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenai masalahnya
ini. Maka aku pun meminta fatwa kepada beliau. Beliau berkata:
‘Hendaklah dia berjalan dan berkendaraan.’” (HR Bukhari dan Muslim)[5]
Hadits-hadits tersebut menunjukkan
betapa senangnya kaum wanita melaksanakan ibadah dan itu merupakan sifat
yang terpuji. Namun Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam –sebagai
pembimbing manusia ke jalan kebaikan– tidak menyenangi sikap berlebihan
seperti yang terlihat dalam beberapa hadits di atas, sebagaimana beliau
juga tidak menyenangi hal itu terjadi pada kaum laki-laki seperti kasus
Abdullah bin Umar ibnul Ash, Abu Darda, dan lain-lain. Kami kira kaum
wanita telah mematuhi pengarahan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
sehingga mereka tetap rajin beribadah, tetapi tidak berlebihan. Begitu
juga halnya dengan kaum laki-laki. Semoga Allah melimpahkan ridhanya
bagi kita semua, baik kepada kaum laki-laki maupun wanita.
Bersedekah Dan Berinfak
Abu Sa’id Al Khudari berkata bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu keluar pada hari raya
Adha dan hari raya Fitri. Beliau memulai dengan shalat. Setelah
menyelesaikan shalat dan mengucapkan salam, beliau berdiri menghadap
kaum muslimin yang sedang duduk di tempat shalat mereka masing-masing.
Jika beliau mempunyai hajat yang perlu disampaikan, beliau tuturkan
hajatnya itu kepada kaum muslimin. Atau kalau ada keperluan lain, maka
beliau memerintahkannya kepada kaum muslimin. Beliau pernah bersabda
(dalam khotbahnya): “Bersedekahlah kalian, bersedekahlah kalian,
bersedekahlah kalian!” Ternyata yang paling banyak memberikan sedekah
adalah kaum wanita. (HR Muslim)[6]
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anh berkata:
“Aku pernah mengikuti shalat Idul Fitri bersama Nabi Shalallahu ‘Alaihi
wa Sallam Kemudian beliau datang membelah kerumunan mereka menuju ke
tempat jamaah wanita. Beliau disertai Bilal kemudian beliau bersabda:
‘Bersedekahlah kalian (hai kaum wanita). Lalu Bilal membentangkan
pakaiannya.’ Kemudian berkata: ‘Marilah, demi bapak ibuku sebagai
tebusan kalian!’ Mereka segera menjatuhkan gelang-gelang dan
cincin-cincin ke atas pakaian Bilal tadi.” (HR Bukhari dan Muslim)[7]
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata:
“Bersegeranya wanita bersedekah meskipun perhiasan mereka itu mahal
harganya, sementara kondisi keuangan mereka di kala itu sangat sulit,
menunjukkan betapa tingginya tingkat keimanan mereka dan betapa besarnya
keimanan mereka untuk mentaati perintah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
wa Sallam Semoga Allah meridhai mereka semua.”[8]
Berbuat Baik Kepada Orang Tua (Selagi Mereka Hidup Dan Setelah Mereka Wafat)
Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya,
berkata: “Ketika aku sedang duduk di dekat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
wa Sallam, tiba-tiba muncul seorang perempuan menghampiri beliau dan
berkata: ‘Sesungguhnya aku telah menyedekahkan seorang budak perempuan
untuk ibuku dan kini ibuku telah wafat. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam berkata: “Kamu berhak memperoleh pahala dan ambil kembali budak
perempuan itu untukmu sebagai warisan.” Perempuan itu bertanya: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya ibuku itu masih mempunyai tanggungan hutang
puasa sebulan. Apakah aku boleh berpuasa menggantikannya?” Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Ya, berpuasalah kamu
menggantikannya!” Perempuan itu bertanya lagi: “Sesungguhnya ibuku itu
belum pernah menunaikan ibadah haji. Apakah aku bisa menggantikannya?”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Ya, laksanakanlah
ibadah haji untuk menggantikannya!” (HR Muslim)[9]
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anh berkata:
“Seorang perempuan pernah datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam dan berkata: ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku telah
meninggal dunia, sementara dia masih mempunyai hutang puasa nazar.
Apakah aku boleh berpuasa menggantikannya?’ Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam menjawab: ‘Bagaimana pendapatmu jika ibumu itu
mempunyai hutang kepada seseorang, lalu kamu membayarnya, bukankah yang
demikian itu berarti kamu telah melunasi hutangnya?’ Perempuan itu
menjawab: ‘Ya.’ Lalu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: ‘Maka
berpuasalah kamu untuk menggantikan ibumu!’” (HR Bukhari dan Muslim)[10]
Ibnu Abbas berkata bahwa seorang
perempuan dari keluarga Juhainah datang menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi
wa Sallam, lalu berkata: “Sesungguhnya ibuku bernazar akan menunaikan
ibadah haji, namun dia belum sempat melaksanakannya sampai dia meninggal
dunia. Apakah aku boleh melaksanakan haji untuk menggantikannya?” Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Ya lakukanlah haji untuk
menggantikannya. Bukankah kalau ibumu mempunyai hutang, kamulah yang
harus membayarnya?” Maka bayarkanlah hutangnya kepada Allah, sebab
hutang kepada Allah itu adalah yang paling utama untuk dibayar.” (HR
Bukhari)[11]
[1]
Bukhari, Kitab: Musibah sakit, Bab: Keutamaan orang yang menemui
ajalnya karena terserang epilepsi, jilid 12, hlm. 218. Muslim, Kitab:
Kebajikan, hubungan kekeluargaan, dan etika, Bab: Pahala orang mukmin
yang terkena musibah, jilid 8, hlm. 16.
[2]
Bukhari, Kitab: Tahajjud, Bab: Apa yang dimakruhkan menyangkut
berlebihan dalam beribadah, jilid 3, hlm. 278. Muslim, Kitab: Shalat
orang musafir dan mengqasharnya, Bab: Masalah orang yang mengantuk dalam
shalatnya, jilid 2, hlm. 189.
[3]
Bukhari, Kitab: Iman, Bab: Agama/amal yang disenangi Allah adalah yang
berkesinambungan, jilid 1, hlm. 109. Muslim, Kitab: Shalat orang musafir
dan mengqasharnya, Bab: Masalah orang yang mengantuk dalam shalatnya,
jilid 2, hlm. 189.
[4] Bukhari, Kitab: Sumpah dan nazar, Bab: Orang yang mati sedangkan dia mempunyzi nazar, jilid 14, hlm. 395
[5]
Bukhari, Kitab: Haji, Bab: Orang yang bernazar akan berjalan ke Ka’bah,
jilid 4, hlm. 451. Muslim, Kitab: Nazar, Bab: Orang yang bernazar akan
berjalan ke Ka’bah, jilid 5, hlm. 79.
[6] Muslim, Kitab: Dua hari raya, jilid 3, hlm. 20.
[7]
Bukhari, Kitab: Dua hari raya, Bab: Nasihat imam kepada kaum wanita
pada hari raya, jilid 3, hlm. 120. Muslim, Kitab: Shalat dua hari raya,
jilid 3, hlm. 20.
[8] Fathul Bari, jilid 3, hlm. 121.
[9] Muslim, Kitab: Puasa, Kitab: Mengqadha puasa orang yang sudah meninggal, jilid 3, hlm. 156.
[10]
Bukhari, Kitab: Puasa, Bab: Orang yang meninggal sementara dia punya
utang puasa, jilid 5, hlm. 98. Muslim, Kitab: Puasa, bab: Mengqadha
puasa orang yang sudah meninggal dunia, jilid 3, hlm. 156.
[11] Bukhari, Kitab: Haji, Bab: Haji dan nazar orang yang telah meninggal dunia, jilid 4, hlm. 436.
Sumber : Hasanalbanna