Home » , » Beberapa Sikap Mulia Wanita dalam Shahih Bukhari-Muslim

Beberapa Sikap Mulia Wanita dalam Shahih Bukhari-Muslim

Dalam bagian ini akan saya ketengahkan beberapa sikap wanita berkaitan dengan masalah bagaimana wanita yang telah dibebaskan oleh Islam mencapai keutamaan derajat yang sangat tinggi serta mewujudkan banyak sekali sifat dan teladan yang mulia.

Berkorban Di Jalan Allah

Bersumber dari Shuhaib dikatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda bahwa dahulu kala ada seorang raja mempunyai tukang sihir. Setelah berusia lanjut, dia berkata kepada raja: “Sekarang saya sudah tua, kirimkanlah seorang pemuda kepada saya untuk saya ajari ilmu sihir.”

Raja mengirim seorang pemuda kepadanya. Di tengah perjalanan pemuda tersebut bertemu dengan seorang pendeta lalu dia duduk untuk mendengarkan ajaran pendeta, dan dia sangat menyenangi ajaran tersebut. Setiap hendak mendatangi tukang sihir, terlebih dahulu dia menemui pendeta untuk kemudian mendengarkan ajarannya. Akibatnya, jika bertemu dengan tukang sihir, pemuda tersebut dipukuli.

Hal itu diadukannya pada pendeta, maka pendeta berkata: “Apabila kamu khawatir dimarahi tukang sihir, katakan bahwa keluargamu menghalang-halangimu, dan kalau kamu khawatir dimarahi keluargamu, katakan bahwa kamu dihalang-halangi tukang sihir.” Dalam keadaan seperti itu, dia melihat ada binatang raksasa yang merintangi jalan orang-orang. Kemudian dia berkata: “Hari ini aku akan tahu, ajaran siapakah yang lebih utama, tukang sihir atau pendeta.”

Kemudian dia mengambil batu seraya berkata: “Ya Allah, jika ajaran pendeta itu lebih Engkau sukai daripada ajaran tukang sihir, bunuhlah binatang ini sehingga orang-orang bisa lewat.”

Lalu binatang tersebut dilemparnya dengan batu, maka matilah binatang itu kaum orang-orang pun bisa lewat lagi. Setelah itu dia pergi menemui pendeta dan menceritakan kejadian tadi. Pendeta berkata, “Wahai anakku, hari ini kamu lebih mulia daripada aku. Kini aku mengetahui apa yang telah kamu ucapkan dan kamu akan diuji. Kalau kamu diuji, maka janganlah kamu tunjukkan aku.”

Selanjutnya pemuda tadi dapat menyembuhkan orang buta, orang yang sakit kusta, dan segala penyakit. Keahliannya itu terdengar oleh seorang menteri yang buta. Maka dia dipanggil dan akan diberi banyak hadiah. Menteri itu berkata: “Jika kamu dapat menyembuhkan aku, maka apa yang ada di sini aku berikan kepadamu.”

Pemuda tersebut berkata: “Aku tidak dapat menyembuhkan siapa pun. Yang dapat menyembuhkan hanyalah Allah. Jika engkau mau beriman kepada Allah, aku akan berdoa agar Dia menyembuhkanmu.”

Menteri mau beriman dan Allah menyembuhkannya. Kemudian dia menghadap raja dan ikut bersidang seperti biasanya. Sang raja bertanya kepadanya: “Siapa yang mengembalikan penglihatanmu itu?”
Menteri menjawab: “Tuhan saya.”

Raja bertanya: “Apakah kamu mempunyai Tuhan selain aku?”
Menteri menjawab. ‘Tuhan saya dan Tuhan kamu adalah Allah.”

Maka dia ditangkap dan disiksa terus sampai akhirnya dia menunjuk kepada pemuda. Kemudian si pemuda diperintahkan menghadap, lalu raja berkata kepadanya: “Hai anakku, aku telah mendengar bahwa dengan sihirmu, kamu bisa menyembahkan orang buta, sakit kusta, dan lain-lainnya.”

Pemuda itu berkata: “Sesungguhnya saya tidak dapat menyembahkan siapa pun. Yang dapat menyembuhkan hanyalah Allah.”

Maka dia ditangkap lalu disiksa terus-menerus sehingga akhirnya dia menunjuk pendeta. Maka pendeta dihadapkan, lalu dikatakan kepadanya: “Keluarlah dari agamamu!”

Pendeta menolak, maka raja meminta gergaji, lalu diletakkan di tengah-tengah kepala sang pendeta, lantas dibelahnya tubuh pendeta sampai pinggangnya. Setelah itu menteri dipanggil, kemudian dikatakan kepadanya: “Keluarlah dari agamamu!” tetapi menteri menolak.

Maka dia pun dibelah sampai pinggangnya. Kemudian si pemuda dihadapkan, lalu dikatakan kepadanya: “Keluarlah dari agamamu!”

Pemuda itu menolak, maka dia diserahkan kepada sekelompok pengikut raja, kemudian raja berkata: “Bawalah dia ke gunung. Apabila kamu sudah sampai ke puncaknya, maka jika dia mau keluar dari agamanya, (bawalah kembali), tetapi kalau tidak mau, lemparkanlah dia!”

Lantas mereka membawa pemuda itu ke puncak gunung. Maka pemuda itu berdoa: “Wahai Allah, jagalah aku dari kejahatan mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.”
Mendadak gunung itu bergetar dan bergoncang dengan hebat sehingga mereka jatuh dan mati. Kemudian si pemuda menemui raja, lalu raja bertanya: “Apa yang terjadi dengan orang-orang yang membawa kamu tadi?”

Si pemuda menjawab: “Allah melindungi aku dari kejahatan mereka.”
Maka pemuda itu diserahkan kepada sekelompok yang lain, lalu raja berkata: “Bawalah dia dengan perahu ke tengah laut. Kalau dia mau keluar dari agamanya, maka bawalah dia pulang. Tetapi jika dia tidak mau, maka lemparkanlah dia ke tengah laut!”

Lantas mereka membawa pemuda tersebut. Kemudian pemuda itu berdoa: “Ya Allah, jagalah aku dari kejahatan mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.”

Maka perahu yang mereka naiki itu terbalik dan mereka tenggelam. Kemudian pemuda itu pergi menemui raja. Raja bertanya: “Apa yang terjadi dengan orang-orang yang membawa kamu tadi?”

Si pemuda menjawab: “Allah melindungi aku dari kejahatan mereka. Sesungguhnya kamu tidak dapat membunuhku kecuali jika kamu mau melakukan apa yang aku perintahkan.”
Raja bertanya: “Apa perintahmu?”

Si pemuda berkata: “Kumpulkanlah orang-orang di suatu tempat yang tinggi, lalu saliblah aku pada sebatang kayu. Setelah itu ambil anak panah dari tahung anak panahku, kemudian letakkan di tengah-tengah busur, lalu bacalah: bismillahi rabbil ghulam (Dengan nama Allah, Tuhan si pemuda). Setelah itu baru panahlah aku. Jika kamu mau mengerjakan perintahku itu, maka kamu dapat membunuhku.”

Raja bersedia melaksanakan perintah pemuda tersebut Orang-orang dikumpulkan di suatu dataran tinggi, lalu pemuda itu disalib. Setelah itu diambilnya sebatang panah dari tahungnya, kemudian diletakkannya di tengah-tengah busur, lalu dibacalah bismillahi rabbil ghulam. Pemuda itu dipanah tepat pada pelipisnya. Si pemuda meletakkan tangannya di pelipisnya yang terkena panah itu, lalu meninggal. Maka orang-orang berkata: “Kami beriman kepada Tuhannya pemuda itu, kami beriman kepada Tuhannya pemuda itu, kami beriman kepada Tuhannya pemuda itu.”

Setelah kejadian itu raja ditanya: “Bagaimana pendapatmu tentang apa yang kamu khawatirkan”
Sungguh telah terjadi apa yang pernah kamu khawatirkan. Orang-orang telah beriman.” Mendengar itu raja memerintahkan supaya dibuatkan parit di mulut jalan yang di dalamnya dinyalakan api, lalu dia berkata kepada para pengikutnya: “Barangsiapa yang tidak mau keluar dari agamanya, lemparkan ke dalam api itu (atau dikatakan kepada orang tersebut: Terjunlah ke dalamnya).”

Para pengikut itu melaksanakan perintahnya sampai akhirnya tiba giliran seorang wanita yang membawa seorang bayi. Dia tetap berdiri di tempatnya lantaran takut terjun ke dalam api. Maka bayinya itu berkata: “Ibu, tabahlah, karena kamu berada di pihak yang benar!”“ (HR Muslim)

Demikianlah halnya wanita yang telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah sebelum masa diutusnya Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Dia lebih mengutamakan agama Allah yang hak atas segala-galanya dan dia mengorbankan jiwa raganya dengan harga yang murah sekali demi kepentingan agama Allah.

Sangat Mendambakan Kesempurnaan

Atha bin Rabah berkata: “Ibnu Abbas bertanya kepadaku: ‘Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu seorang wanita calon ahli surga?’ Aku jawab: ‘Tentu saja.’ Ibu Abbas berkata: ‘Ini, wanita berkulit hitam ini pernah datang kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata: “Sesungguhnya aku mengidap penyakit ayan, dan aku khawatir auratku terbuka, sementara aku tidak sadar. Maka tolonglah doakan pada Allah agar aku sembuh.” Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: ‘Jika kamu bisa sabar menghadapinya, bagimu adalah surga, tapi kalau kamu menginginkan kesembuhan, aku juga bisa mendoakannya kepada Allah agar Dia berkenan menyembuhkanmu.’ Wanita itu berkata: ‘Saya akan coba sabar.’ Setelah itu wanita itu berkata lagi: ‘Tetapi aku khawatir auratku terbuka. Karena itu, doakanlah kepada Allah supaya auratku tidak terbuka.’ Lantas Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakannya.” (HR Bukhari dan Muslim)[1]

Senang Beribadah

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anh berkata: “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk masjid. Tiba-tiba beliau lihat ada tali yang terbentang antara dua tiang masjid. Beliau bertanya: ‘Tali apa ini?’ Para sahabat menjawab: ‘Ini adalah tali milik Zainab. Apabila dia sudah merasa lelah (beribadah) maka dia akan bergantung pada tali itu.’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: ‘Tidak, lepaskan tali itu. Hendaklah salah seorang dari kalian melaksanakan shalatnya dalam keadaan segar. Kalau sudah merasa lelah, maka hendaklah dia shalat dalam keadaan duduk.’” (HR Bukhari dan Muslim)[2]

Aisyah Berkata: “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam datang menemui Aisyah. Ketika itu di samping Aisyah ada seorang wanita. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya: ‘Siapa wanita ini?’ ‘Si Fulanah yang sering disebut-sebut mengenai shalatnya.’ Menurut riwayat Muslim: ‘Mereka menduga bahwa wanita itu tidak tidur pada malam harinya.’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: ‘Cukup, laksanakanlah ibadah semampumu. Demi Allah, Allah tidak pernah bosan sampai kamu merasa bosan sendiri.’ (HR Bukhari dan Muslim)[3]

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anh berkata: “Seorang laki-laki datang menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata kepada beliau: ‘Sesungguhnya saudara perempuanku bernazar akan melaksanakan ibadah haji, tetapi dia sudah meninggal (sebelum sempat melaksanakan nazarnya).’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: ‘Andaikan dia mempunyai hutang, apakah kamu akan membayarnya?’ Lelaki itu menjawab: ‘Ya.’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: ‘Bayarkanlah (tunaikanlah nazarnya) kepada Allah, karena sesungguhnya Dia lebih berhak untuk dibayar!’” (HR Bukhari)[4]

Uqbah bin Amir berkata: “Saudara perempuanku bernazar akan berjalan ke Baitullah. Dia menyuruhku meminta fatwa kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenai masalahnya ini. Maka aku pun meminta fatwa kepada beliau. Beliau berkata: ‘Hendaklah dia berjalan dan berkendaraan.’” (HR Bukhari dan Muslim)[5]

Hadits-hadits tersebut menunjukkan betapa senangnya kaum wanita melaksanakan ibadah dan itu merupakan sifat yang terpuji. Namun Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam –sebagai pembimbing manusia ke jalan kebaikan– tidak menyenangi sikap berlebihan seperti yang terlihat dalam beberapa hadits di atas, sebagaimana beliau juga tidak menyenangi hal itu terjadi pada kaum laki-laki seperti kasus Abdullah bin Umar ibnul Ash, Abu Darda, dan lain-lain. Kami kira kaum wanita telah mematuhi pengarahan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sehingga mereka tetap rajin beribadah, tetapi tidak berlebihan. Begitu juga halnya dengan kaum laki-laki. Semoga Allah melimpahkan ridhanya bagi kita semua, baik kepada kaum laki-laki maupun wanita.
Bersedekah Dan Berinfak

Abu Sa’id Al Khudari berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu keluar pada hari raya Adha dan hari raya Fitri. Beliau memulai dengan shalat. Setelah menyelesaikan shalat dan mengucapkan salam, beliau berdiri menghadap kaum muslimin yang sedang duduk di tempat shalat mereka masing-masing. Jika beliau mempunyai hajat yang perlu disampaikan, beliau tuturkan hajatnya itu kepada kaum muslimin. Atau kalau ada keperluan lain, maka beliau memerintahkannya kepada kaum muslimin. Beliau pernah bersabda (dalam khotbahnya): “Bersedekahlah kalian, bersedekahlah kalian, bersedekahlah kalian!” Ternyata yang paling banyak memberikan sedekah adalah kaum wanita. (HR Muslim)[6]

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anh berkata: “Aku pernah mengikuti shalat Idul Fitri bersama Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Kemudian beliau datang membelah kerumunan mereka menuju ke tempat jamaah wanita. Beliau disertai Bilal kemudian beliau bersabda: ‘Bersedekahlah kalian (hai kaum wanita). Lalu Bilal membentangkan pakaiannya.’ Kemudian berkata: ‘Marilah, demi bapak ibuku sebagai tebusan kalian!’ Mereka segera menjatuhkan gelang-gelang dan cincin-cincin ke atas pakaian Bilal tadi.” (HR Bukhari dan Muslim)[7]

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Bersegeranya wanita bersedekah meskipun perhiasan mereka itu mahal harganya, sementara kondisi keuangan mereka di kala itu sangat sulit, menunjukkan betapa tingginya tingkat keimanan mereka dan betapa besarnya keimanan mereka untuk mentaati perintah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Semoga Allah meridhai mereka semua.”[8]

Berbuat Baik Kepada Orang Tua (Selagi Mereka Hidup Dan Setelah Mereka Wafat)

Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, berkata: “Ketika aku sedang duduk di dekat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, tiba-tiba muncul seorang perempuan menghampiri beliau dan berkata: ‘Sesungguhnya aku telah menyedekahkan seorang budak perempuan untuk ibuku dan kini ibuku telah wafat. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Kamu berhak memperoleh pahala dan ambil kembali budak perempuan itu untukmu sebagai warisan.” Perempuan itu bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku itu masih mempunyai tanggungan hutang puasa sebulan. Apakah aku boleh berpuasa menggantikannya?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Ya, berpuasalah kamu menggantikannya!” Perempuan itu bertanya lagi: “Sesungguhnya ibuku itu belum pernah menunaikan ibadah haji. Apakah aku bisa menggantikannya?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Ya, laksanakanlah ibadah haji untuk menggantikannya!” (HR Muslim)[9]

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anh berkata: “Seorang perempuan pernah datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata: ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, sementara dia masih mempunyai hutang puasa nazar. Apakah aku boleh berpuasa menggantikannya?’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: ‘Bagaimana pendapatmu jika ibumu itu mempunyai hutang kepada seseorang, lalu kamu membayarnya, bukankah yang demikian itu berarti kamu telah melunasi hutangnya?’ Perempuan itu menjawab: ‘Ya.’ Lalu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: ‘Maka berpuasalah kamu untuk menggantikan ibumu!’” (HR Bukhari dan Muslim)[10]

Ibnu Abbas berkata bahwa seorang perempuan dari keluarga Juhainah datang menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu berkata: “Sesungguhnya ibuku bernazar akan menunaikan ibadah haji, namun dia belum sempat melaksanakannya sampai dia meninggal dunia. Apakah aku boleh melaksanakan haji untuk menggantikannya?” Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Ya lakukanlah haji untuk menggantikannya. Bukankah kalau ibumu mempunyai hutang, kamulah yang harus membayarnya?” Maka bayarkanlah hutangnya kepada Allah, sebab hutang kepada Allah itu adalah yang paling utama untuk dibayar.” (HR Bukhari)[11]


[1] Bukhari, Kitab: Musibah sakit, Bab: Keutamaan orang yang menemui ajalnya karena terserang epilepsi, jilid 12, hlm. 218. Muslim, Kitab: Kebajikan, hubungan kekeluargaan, dan etika, Bab: Pahala orang mukmin yang terkena musibah, jilid 8, hlm. 16.
[2] Bukhari, Kitab: Tahajjud, Bab: Apa yang dimakruhkan menyangkut berlebihan dalam beribadah, jilid 3, hlm. 278. Muslim, Kitab: Shalat orang musafir dan mengqasharnya, Bab: Masalah orang yang mengantuk dalam shalatnya, jilid 2, hlm. 189.
[3] Bukhari, Kitab: Iman, Bab: Agama/amal yang disenangi Allah adalah yang berkesinambungan, jilid 1, hlm. 109. Muslim, Kitab: Shalat orang musafir dan mengqasharnya, Bab: Masalah orang yang mengantuk dalam shalatnya, jilid 2, hlm. 189.
[4] Bukhari, Kitab: Sumpah dan nazar, Bab: Orang yang mati sedangkan dia mempunyzi nazar, jilid 14, hlm. 395
[5] Bukhari, Kitab: Haji, Bab: Orang yang bernazar akan berjalan ke Ka’bah, jilid 4, hlm. 451. Muslim, Kitab: Nazar, Bab: Orang yang bernazar akan berjalan ke Ka’bah, jilid 5, hlm. 79.
[6] Muslim, Kitab: Dua hari raya, jilid 3, hlm. 20.
[7] Bukhari, Kitab: Dua hari raya, Bab: Nasihat imam kepada kaum wanita pada hari raya, jilid 3, hlm. 120. Muslim, Kitab: Shalat dua hari raya, jilid 3, hlm. 20.
[8] Fathul Bari, jilid 3, hlm. 121.
[9] Muslim, Kitab: Puasa, Kitab: Mengqadha puasa orang yang sudah meninggal, jilid 3, hlm. 156.
[10] Bukhari, Kitab: Puasa, Bab: Orang yang meninggal sementara dia punya utang puasa, jilid 5, hlm. 98. Muslim, Kitab: Puasa, bab: Mengqadha puasa orang yang sudah meninggal dunia, jilid 3, hlm. 156.
[11] Bukhari, Kitab: Haji, Bab: Haji dan nazar orang yang telah meninggal dunia, jilid 4, hlm. 436.

Sumber : Hasanalbanna
Share this article :
 
Support : Enlightening Your Life With Us |
Copyright © 2012. Ramadhanus - All Rights Reserved
Supported by Gradasi Learning Institute
Jl. T. Nyak Arief No. 11 Lamnyong Banda Aceh, 085277471136 or 085260816081