Latest Post

Pilar Guru Peradaban : KETELADANAN



Siapa yang tak mengenal sosok Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, seorang Nabi dan Rasul Allah, baginya, Allah sertakan wahyu sebagai pedoman hidup serta menjadi gambaran akhlaq beliau. 

Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lelaki terpilih, yang terbaik dari kaumnya pribadi yang bersih dari noda-noda kejahiliyahan sebagian besar penduduknya yang telah menyimpang dari ajaran kebaikan para Nabi dan Rasul Allah sebelumnya.

Banyak pelajaran berharga dari beliau, sebagai sosok Maha Guru Peradaban, yang mengantarkan manusia pada puncak akhlak terbaik, sepanjang masa. Mengajarkan arti tentang kemurnian diri, kebersihan hati, prinsip yang tegas, tak pernah menyepelekan seluruh problema hidup. Menjadi penyejuk hati setiap kata-kata yang terucap, menyampaikan wahyu Ilahi sebagai berita gembira sekaligus berita yang menakutkan tentang hari kebangkitan.

Beliau mengajarkan pentingnya hal-hal ma’ruf (kebaikan), dan menjauhi seluruh keburukan. Mendekatkan manusia pada hidayah Allah Yang Maha Tinggi, sebagai perniagaan yang tak pernah merugi jika dijalani.
Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah ayah yang selalu ada di hati buah hatinya, sebagai gambaran guru di rumah yang selalu dekat dan mengayomi, tegas yang sinergi dengan kelembutan.

Sebagai Guru, hendaknya kita mencontoh keseluruhan dari sosok Baginda Nabi, Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau sejatinya adalah sebagai “Guru Peradaban”.

KETELADANAN
Pada hari di mana Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Beliau menyebarkan ajaran Allah kepada kaum jahiliyah arab. Maka para pembesar suku Quraisy pun mengadakan sidang. Mereka membicarakan perkembangan gerakan yang dijalankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam sidang tersebut ada dua pilihan, yakni menyelesaikannya dengan kekerasan atau menyelesaikannya dengan jalan damai. Lantas pilihan kedualah yang diambil.

Maka dari itu serombongan orang Quraisy menemui Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat itu beliau sedang berada di Masjid. Orang Quraisy menunjuk Utbah bin Rabi’ah sebagai juru bicara karena dia yang paling pandai bicara di antara para anggota Dar al-Nadwah atau parlemen Makkah. Utbah bin Rabi’ah berkata:
“Wahai keponakanku! Aku memandangmu sebagai orang yang terpandang dan termulia di antara Kami. Tiba-tiba engkau datang kepada kami membawa paham baru yang tidak pernah dibawa oleh siapapun sebelum engkau. Kau resahkan masyarakat, kau timbulkan perpecahan, kau cela agama Kami. Kami khawatir suatu kali terjadilah peperangan di antara kita hingga kita semua binasa.” 

Setelah berhenti sebentar, Utbah melanjutkan bicaranya :
“Apa sebetulnya yang Kau kehendaki? Jika Kau inginkan harta, akan Kami kumpulkan kekayaan dan Engkau menjadi orang terkaya di antara Kami. Jika Kau inginkan kemuliaan, akan Kami muliakan Engkau sehingga Engkau menjadi orang yang paling mulia. Kami tidak akan memutuskan sesuatu tanpa meminta pertimbanganmu. Atau, jika ada penyakit yang mengganggumu, yang tidak dapat Kau atasi, akan Kami curahkan semua perbendaharaan Kami sehingga Kami dapatkan obat untuk menyembuhkanmu. Atau mungkin Kau inginkan kekuasaan, Kami jadikan Kamu penguasa kami semua.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkan semua perkataan Utbah dengan sabar. Tidak sekalipun beliau mengeluarkan suara atau menggerakkan tubuh untuk memotong pembicaraan Utbah. Saat Utbah berhenti berbicara, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Sudah selesaikah ya Abal Walid?” Lalu Utbah menjawab bahwa dirinya sudah selesai berbicara. 

Rasulullah kemudian menjawab ucapan Utbah tersebut dengan surat Fushilat,
حم
تَنْزِيلٌ مِنَ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيم ِ
كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُون َ
بَشِيرًا وَنَذِيرًا فَأَعْرَضَ أَكْثَرُهُمْ فَهُمْ لَا يَسْمَعُون َ

“Haa mim. Diturunkan al-Quran dari Dia yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Sebuah kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan. Qur’an dalam bahasa arab untuk kaum berilmu. yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan.” Rasulullah terus membaca hingga sampai pada ayat sajdah, beliau kemudian bersujud.

Utbah yang duduk mendengarkan Rasulullah hingga selesai membaca bacaannya lalu berdiri. Ia tak tahu harus mengatakan apa. Ia lantas pergi menemui kaumnya. Di tengah-tengah mereka, ia berbicara dengan pelan memberitahukan bahwa ia telah menemui Muhammad dan menyampaikan apa yang mereka kehendaki. Namun Muhammad menjawab dengan ucapan yang ia tidak mengerti. Ia meminta kaum Quraisy untuk tidak mengganggu Rasulullah karena beliau tidak akan berhenti dari gerakan dakwahnya. Namun ternyata orang-orang Quraisy tidak mematuhi nasihat dari Utbah.

Satu hal yang bisa kita petik dari hal ini adalah kesabaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akhlak beliau ketika berbicara dengan orang lain, sekalipun itu orang kafir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mendengarkan dan tidak memotongnya meskipun beliau tidak menyukai hal tersebut. Kita harusnya berkaca dari peristiwa tersebut. Jangankan mendengar pendapat orang kafir, mendengar pendapat saudara sesama muslim saja kita enggan, bahkan seringkali memotongnya. Semoga kita bisa meniru akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

(Bersambung)


Penulis : dr. Ramadhanus, Penggagas dan Pemerhati Pendidikan Keluarga, Direktur Gradasi Learning Institute.

Sumber : dari berbagai sumber

Surga Buat Istri di mana Suaminya Ridho padanya.



"Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata dia, "Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: "Wahai Rasulallah, siapakah orang yang paling besar haknya atas seorang wanita? Beliau menjawab: "Suami wanita itu." Aku bertanya lagi: "Siapakah yang paling besar haknya atas seorang laki-laki?" Rasulullah menjawab: "Ibu laki-laki itu." (Hadis Riwayat Imam Hakim, dalam kitab Al Mustadrak jilid 4 halaman 150).

Islam telah mengatur segala bentuk ketaatan kepada manusia dengan aturan yang sangat baik. Ini disebut sebagai “al Birr”. Seorang anak mesti taat kepada kedua orang tuanya disebabkan Allah telah memerintahkannya. Orang tua dengan bentuk cinta telah melahirkan, mendidik, merawat, serta memilihkan lingkungan yang baik buat putra dan putrinya.

Saat dewasa, tatkala usia pantas menikah telah sampai, maka bagi wanita, bentuk ketaatannya bertambah dari yang sebelumnya kepada kedua orang tua, lalu mesti taat kepada suami mereka. Ketaatan mereka kepada suami merupakan ketaatan yang utama setelah mereka menikah.

Ketaatan istri kepada suami diharapkan melahirkan keridhaan suami atas mereka. Ada berkah bagi para istri yang memperoleh ridha dari suami, di antaranya adalah mereka akan memperoleh surga dari Allah atas keridhaan suaminya.

Dalam Shahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.”

Dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا رَاضٍ عَنْهَا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ

Wanita (istri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha kepadanya niscaya ia akan masuk surga.”

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.”

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا لِأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.

Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan.”

Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan lafadznya:
لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ، لِمَا جَعَلَ اللهُ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحُقُوْقِ

…niscaya aku perintahkan para istri untuk sujud kepada suami mereka dikarenakan kewajiban-kewajiban sebagai istri yang Allah bebankan atas mereka.

Dalam Al-Musnad dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَاَّلذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قَرْحَةً تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلحسَتْهُ مَا أَدّّتْ حَقَّهُ
Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/borok yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadap suaminya lalu menjilati luka/borok tersebut niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.

Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibnu Majah, dari Aisyah radhiyallahu‘anha dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً أَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ تَنْقُلَ مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ، وَمِنْ جَبَلٍ أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكاَنَ لَهَا أَنْ تَفْعَلَ

Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Seandainya seorang suami memerintahkan istrinya untuk pindah dari gunung merah menuju gunung hitam dan dari gunung hitam menuju gunung merah maka si istri harus melakukannya.

Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibnu Majah, dan Shahih Ibnu Hibban dari Abdullah ibnu Abi Aufa radhiyallahu‘anhu, ia berkata:

لمَاَّ قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّام ِسَجَدَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: مَا هذَا يَا مُعَاذُ؟ قَالَ: أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَجَدْتُهُمْ يَسْجُدُوْنَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ تَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ .فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ تَفْعَلُوا ذَلِكَ، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأََلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ

Tatkala Mu’adz datang dari bepergiannya ke negeri Syam, ia sujud kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menegur Mu’adz, “Apa yang kau lakukan ini, wahai Mu’adz?”

Mu’adz menjawab, “Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya) sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan engkau lakukan hal itu, karena sungguh andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang istri tidaklah menunaikan hak Rabbnya sampai ia menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya dalam keadaan ia berada di atas pelana (hewan tunggangan) maka ia tidak boleh menolaknya.”

Dari Thalaq bin Ali, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا رَجُلٍ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَلَوْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ

Suami mana saja yang memanggil istrinya untuk memenuhi hajatnya maka si istri harus/wajib mendatanginya (memenuhi panggilannya) walaupun ia sedang memanggang roti di atas tungku api.”
Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Shahih-nya dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan.”

Dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْئَ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri menolak untuk datang, lalu si suami bermalam (tidur) dalam keadaan marah kepada istrinya tersebut, niscaya para malaikat melaknat si istri sampai ia berada di pagi hari.

Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suami adalah tuan (bagi istrinya) sebagaimana tersebut dalam Kitabullah.” Lalu ia membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ

Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu.” (Yusuf: 25)
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nikah itu adalah perbudakan. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat/memerhatikan kepada siapa ia memperbudakkan anak perempuannya.”

Dalam riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ

Berwasiat kebaikanlah kalian kepada para wanita/istri karena mereka itu hanyalah tawanan di sisi kalian.

Inilah beberapa hal alasan mengapa ridha suami atas istri akan membawa para istri ke surga :

Pertama, suamimu dibesarkan oleh ibu yang mencintainya seumur hidup. Namun ketika dia dewasa, dia memilih mencintaimu yang bahkan belum tentu mencintainya seumur hidupmu, bahkan sering kali rasa cintanya padamu lebih besar daripada cintanya kepada ibunya sendiri.
Kedua, suamimu dibesarkan sebagai lelaki yang ditanggung nafkahnya oleh ayah dan ibunya hingga dia beranjak dewasa. Namun sebelum dia mampu membalasnya, dia telah bertekad menanggung nafkahmu, perempuan asing yang baru saja dikenalnya dan hanya terikat dengan akad nikah tanpa ikatan rahim seperti ayah dan ibunya.
Ketiga, suamimu ridha menghabiskan waktunya untuk mencukupi kebutuhan anak- anakmu serta dirimu. Padahal dia tahu, di sisi Allah, engkau lebih harus di hormati tiga kali lebih besar oleh anak-anakmu dibandingkan dirinya. Namun tidak pernah sekalipun dia merasa iri, disebabkan dia mencintaimu dan berharap engkau memang mendapatkan yang lebih baik daripadanya di sisi Allah.
Keempat, suamimu berusaha menutupi masalahnya dihadapanmu dan berusaha menyelesaikannya sendiri. Sedangkan engkau terbiasa mengadukan masalahmu pada dia dengan harapan dia mampu memberi solusi. padahal bisa saja disaat engkau mengadu itu, dia sedang memiliki masalah yang lebih besar. namun tetap saja masalahmu diutamakan dibandingkan masalah yang dihadapi sendiri.
Kelima, suamimu berusaha memahami bahasa diammu, bahasa tangisanmu. sedangkan engkau kadang hanya mampu memahami bahasa verbalnya saja. Itupun bila dia telah mengulanginya berkali-kali.
Kelima, Bila engkau melakukan maksiat, maka dia akan ikut terseret ke neraka, karena dia ikut bertanggung jawab akan maksiatmu. Namun bila dia bermaksiat, kamu tidak akan pernah dituntut ke neraka. karena apa yang dilakukan olehnya adalah hal-hal yang harus dipertanggungjawabkannya sendiri.

Penulis : dr. Ramadhanus, Pemerhati dan Penggagas Pendidikan Keluarga, Direktur dan Trainer Gradasi Learning Institute.
Diambil dari berbagai sumber.

Berbuat Baik Tentu Akan Beruntung

Betapa beruntung seseorang di sisi Allah yang senantiasa termotivasi untuk selalu melakukan kebaikan, dan merugilah mereka yang selalu berbuat keburukan. Kebaikan itu akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya, dan keburukan akan mendatangkan keburukan pada pelakunya. Sebagai mu’min maka hendaknya mengedepankan kebaikan sebagai aktifitas ‘amalnya dan berupaya menjauhi perilaku yang buruk. Tentunya Allah selalu bersama orang-orang yang selalu berbuat baik.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah mencatat segala kebaikan dan kejahatan, lalu menjelaskan keduanya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan lalu mengerjakannya, maka akan dicatat untuknya 10 kebaikan, mungkin ditambah hingga 700 kali lipat atau lebih. Bila ia berniat melakukan kejahatan, lalu tidak dikerjakannya, maka Allah mencatat baginya satu kebaikan dan jika niat itu dilaksanakannya, maka ditulis baginya satu kejahatan” (HR. Bukhari & Muslim).

Allah Ta’ala berfirman,
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S Yunus ayat 26)

“Belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah [2] : 195)

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. ‘Ali `Imran [3] : 134)

“Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. ‘Ali `Imran [3] : 148)

“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang shaleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Ma’idah [5] : 93)

Semoga kita termasuk hambaNya yang tercatat sebagai hambaNya yang shaleh, Aamiin.

Penulis : dr. Ramadhanus


Leader

 
Support : Enlightening Your Life With Us |
Copyright © 2012. Ramadhanus - All Rights Reserved
Supported by Gradasi Learning Institute
Jl. T. Nyak Arief No. 11 Lamnyong Banda Aceh, 085277471136 or 085260816081