Tingkatan Pertama:
Tingkatan pembicaraan Allah dengan hamba-Nya secara sadar dan
langsung tanpa perantara. Ini merupakan tingkatan hidayah yang paling
tinggi, sebagaimana Allah yang berbicara dengan Musa bin Imran. Allah
befirman,“Dan, Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (An-Nisa’: 164).
Sebelum ayat ini disebutkan wahyu Allah yang diberikan kepada Nuh dan
para nabi sesudahnya, kemudian mengkhususkan Musa, bahwa Allah
berbicara dengan beliau. Ini menunjukkan bahwa pembicaraan ini lebih
khusus dari sekedar memberikan wahyu seperti yang disebutkan dalam ayat
sebelumnya. Lalu hal ini ditegaskan lagi dengan adanya mashdar dari kallama. Hujjah
ini untuk menyanggah pendapat jahmiyah, Mu’tazilah dan
golongan-golongan lain yang mengatakan bahwa itu artinya wahyu atau
isyarat atau pengenalan terhadap suatu makna, yang artinya bukan bicara
secara langsung. Al-Fara’ berkata, “Orang-orang Arab menyebut kontak
dengan orang lain adalah bicara, dengan cara apa pun dan bagaimana pun.
Tetapi makna ini tidak disertai dengan mashdar dari fi’il yang sama. Jika dikuatkan dengan mashdar, berarti hakikatnya memang bicara. Maka apabila dikatakan, “Fulan araada iraadatan”, artinya Fulan benar-benar menghendaki.
Ada firman Allah yang lain tentang hal ini, “Dan, tatkala Musa
datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan
dan Rabbnya telah berbicara (langsung) kepadanya, Musa berkata, ‘Ya
Rabbi, tampakkanlah (Diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada
Engkau’.” (Al-A’raf: 143).
Pembicaraan ini berbeda dengan yang pertama saat Dia mengutusnya
kepada Fir’aun. Dalam pembicaraan kali ini Musa meminta untuk dapat
melihat Allah. Pembicaraan kali ini berasal dari janji Allah kepadanya.
Sementara pada pembicaraan yang pertama tidak didahului dengan janji.
Tingkatan Kedua:
Tingkatan wahyu yang secara khusus diberikan kepada para nabi.
Allah befirman, “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu
sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang
kemudiannya.” (An-Nisa’: 163).
“Dan, tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata
dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir.” (Asy Syura: 51).
Allah menjadikan wahyu dalam ayat kedua ini termasuk bagian dari
bicara, sedangkan dalam ayat pertama menjadi lawan bicara. La wan bicara
secara khusus artinya tanpa ada perantara, sedangkan bagian dari bicara
yang bersifat umum, berarti penyampaian makna dengan berbagai macam
cara.
Tingkatan Ketiga:
Mengirim utusan dari jenis malaikat kepada utusan dari jenis manusia,
lalu utusan malaikat ini menyampaikan wahyu dari Allah seperti yang
diperintahkan-Nya.
Tiga jenis tingkatan ini dikhususkan hanya bagi para rasul dan nabi,
tidak berlaku untuk selain mereka. Utusan malaikat itu bisa berwujud
manusia berjenis laki-laki, yang bisa dilihat dengan mata telanjang dan
juga berbicara empat mata, dan adakalanya dia menampakkan diri dalam
wujud aslinya. Adakalanya malaikat ini masuk ke dalam diri rasul dan
menyampaikan wahyu seperti yang diperintahkan, lalu dia melepaskan diri
darinya. Tiga cara ini pernah dialami nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Tingkatan Keempat:
Dengan cara bisikan. Tingkatan ini berbeda dengan wahyu yang sifatnya
khusus dan juga berbeda dengan tingkatan para shiddiqin, seperti yang
dialami Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu. Hal ini pernah ditegaskan Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya di tengah umat-umat sebelum kalian ada
orang-orang yang mendapat bisikan. Sedangkan dalam umat ini adalah Umar
bin Al-Khaththab.”
Orang yang mendapat bisikan ialah orang yang mendapat bisikan
(firasat) itu secara rahasia di dalam hatinya tentang sesuatu, kemudian
dia menyatakannya. Lalu bagaimana dengan sekian banyak orang yang
dikuasai imajinasi dan hayalan, yang mengatakan, “Hatiku mendapat
bisikan dari Allah?” Memang tidak bisa disangkal bahwa hatinya mendapat
bisikan itu. Tapi dari mana dan dari siapa? Dari syetan ataukah dari
Allah? Jika dia mengaku berasal dari Allah, berarti dia menyandarkan
bisikan itu dari seseorang yang sebenarnya dia pun tidak mengetahuinya
secara pasti, bahwa yang membisikkan kepadanya itu benar-benar
mem-bisikkan. Ini sama saja bohong. Sementara Umar bin Al-Khaththab,
salah seorang dari umat ini yang telah dilejitimasi oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai
orang yang mendapat bisikan dari Allah, tidak membuat pengakuan seperti
itu dan berkata seperti itu, kapan pun, karena Allah telah melindungi
dirinya agar tidak berkata seperti itu. Bahkan suatu hari saat
sekretarisnya menulis, “Inilah yang diperlihatkan Allah kepada Amirul-
Mukminin, Umar bin Al-Khaththab”, dia berkata, “Tidak, hapus itu. Tapi
tulislah: Inilah yang dilihat Umar bin Al-Khaththab. Jika benar, maka
ini datangnya dari Allah, dan jika salah, maka ini dari Umar, sedangkan
Allah dan Rasul-Nya terbebas darinya.” Dia juga pernah berkata ketika
memutuskan perkara tentang seorang anak yang tidak jelas bapak ibunya,
“Aku memutuskannya berdasarkan pendapatku. Jika benar, maka itu
datangnya dari Allah, dan jika salah, maka itu dariku dan dari syetan.”
Dengan begitu engkau bisa membedakan antara sosok Umar bin Al
Khaththab dengan sekian banyak orang yang dikuasai hayalan, pembual dan
permisivis yang mengatakan, “Hatiku mendapat bisikan (wangsit) dari
Allah.” Perhatikan dan bandingkan antara keduanya, kemudian berikan hak
kepada masing-masing secara proporsional, jangan samakan pembual dengan
orang yang tulus.
Tingkatan Kelima:
Dengan cara pemahaman. Allah befirman,
“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman di waktu keduanya
memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh
kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan, adalah Kami menyaksikan
keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan
pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan ilmu.” (Al-Anbiya’: 78-79).
Allah menyebutkan dua nabi yang mulia ini, memuji keduanya dengan
ilmu dan hukum, mengkhususkan Sulaiman dengan pemahaman dalam peristiwa
ini.
Ali bin Abu Thalib pernah ditanya seseorang, “Apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah
mengkhususkan kalian para shahabat dengan sesuatu tanpa yang lain?” Ali
menjawab, “Tidak pernah, kecuali hanya pemahaman tentang Kitab-Nya
seperti yang diberikan Allah kepada seorang hamba.”
Pemahaman ini datangnya dari Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan inti
kebenaran. Ada perbedaan di antara orang-orang yang berilmu sehubungan
dengan pemahaman ini, sampai-sampai ada satu orang yang disamakan dengan
seribu orang. Perhatikan pemahaman yang dimiliki Ibnu Abbas, saat dia
ditanya Umar dalam pertemuan yang dihadiri para shahabat yang pernah
ikut perang Badr dan juga lain-lainnya tentang makna surat An-Nashr.
Menurut Ibnu Abbas, surat ini merupakan pengabaran tentang kedekatan
ajal beliau. Ternyata jalan pikiran Ibnu Abbas ini cocok dengan jalan
pikiran Umar sendiri. Hanya mereka ber-dua yang memahami seperti ini,
sekalipun Ibnu Abbas adalah orang yang paling muda di antara para
shahabat yang ada pada waktu itu. Dari sisi mana surat ini bisa dipahami
sebagai pengabaran tentang ajal beliau yang sudah dekat kalau bukan
karena pemahaman yang sifatnya khusus?
Tingkatan Keenam:
Penjelasan secara umum. Artinya, penjelasan tentang kebenaran dan
kemampuan untuk membedakannya dari yang batil, berdasarkan dalil, bukti
dan saksi-saksi penguat, sehingga lalu berubah seperti sebuah kenyataan
di dalam hati, seperti sebuah kenyataan yang tampak jelas di depan mata
kepala. Tingkatan ini merupakan hujjah Allah atas makhluk-Nya.
Dia tidak mengadzab dan tidak menyesatkan seseorang kecuali sete-lah orang tersebut mendapatkan kejelasan ini. Firman-Nya, “Dan,
Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah
memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa
yang harus dijauhi.” (At-Taubah: 115).
Kesesatan ini merupakan hukuman bagi mereka yang datangnya dari
Allah, karena Dia telah menjelaskan kepada mereka, namun mereka tidak
mau menerima dan tidak mengamalkannya. Maka Allah menghukum mereka
dengan cara menyesatkannya dari petunjuk. Jadi, Allah sama sekali tidak
menyesatkan seseorang kecuali setelah ada penjelasan ini.
Jika engkau sudah memahami hal ini, tentu engkau bisa memahami
rahasia takdir, sehingga engkau tidak terasuki sekian banyak
keragu-raguan dan syubhat tentang masalah ini.
Penjelasan ini ada dua macam: Penjelasan dengan ayat-ayat yang bisa
didengar, dan penjelasan dengan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) yang
bisa dilihat mata. Keduanya merupakan bukti dan penjelasan tentang
keesaan Allah dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Karena itu Allah menyeru
hamba-hamba-Nya lewat ayat-ayat-Nya yang bisa dibaca agar memikirkan
tanda-tanda kekuasaan-Nya yang bisa dilihat mata. Karena penjelasan
inilah para rasul diutus dan pengemban sesudah para nabi adalah para
ulama. Setelah ada penjelasan itu, maka Allah menyesatkan siapa pun yang
dikehendaki-Nya. Allah menjelaskan, dan Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya serta memberikan petunjuk kepada siapa pun yang
dikehendaki-Nya berdasarkan hikmah-Nya.
Tingkatan Ketujuh:
Penjelasan bersifat khusus. Maksudnya penjelasan yang mendatang-kan
petunjuk khusus, atau penjelasan yang disusul dengan pertolongan, taufik
dan pengenyahan sebab-sebab kehinaan dari hati, sehingga dia tidak
kehilangan hidayah. Allah befirman, “Jika kamu sangat mengharapkan
agar mereka dapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tiada memberi
petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya.” (An-Nahl: 36).
“Sesungguhnya kami tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang
yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya.” (Al-Qashash: 56).
Tingkatan Kedelapan:
Lewat pendengaran. Allah befirman, “Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar.” (Al-Anfal: 23)
Memperdengarkan di sini lebih khusus daripada memperdengarkan hujjah
dan tabligh, sebab yang demikian itu berangkat dari diri mereka sendiri
dan karenanya Allah menegakkan hujjah atas mereka. Yang demikian itu
berarti memperdengarkan telinga, sedangkan yang ini memperdengarkan
hati. Perkataan mempunyai lafazh dan makna, yang berkaitan dengan
telinga dan hati. Mendengarkan lafazh merupakan bagian telinga,
sedangkan mendengarkan hakikat makna dan tujuannya merupakan bagian
hati. Allah meniadakan pendengaran maksud dan tujuan yang merupakan
bagian hati dari orang-orang kafir, dan hanya menetapkan pendengaran
lafazh-lafazh yang merupakan bagian telinga.
Perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan pemahaman, bahwa
tingkatan ini diperoleh lewat sarana telinga, sedangkan tingkatan
pemahaman sifatnya lebih umum. Jadi tingkatan ini lebih khusus daripada
tingkatan pemahaman, jika dilihat dari sisi ini. Tapi tingkatan
pemahaman juga bisa lebih khusus jika dilihat dari sisi yang lain lagi,
yaitu karena ia berkaitan dengan makna yang dimaksudkan, kaitan dan
isyarat-nya. Inti tingkatan mendengar ialah penyampaian maksud ke hati,
yang berarti harus ada penerimaan pendengaran. Berarti dalam tingkatan
ini ada tiga tingkatan lain: Telinga yang mendengar, hati yang mendengar
dan penerimaan atau pemenuhan.
Tingkatan Kesembilan:
Ilham. Allah befirman, “Demi jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (Asy-Syams: 7-8).
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Hushain bin Al Mundzir saat dia masuk Islam, “Katakanlah, ‘Ya Allah, ilhamkanlah kepadaku petunjukku dan lindungilah aku dari kejahatan diriku.”
Pengarang Manazilus-Sa’irin (Abu Ismail) menganggap ilham ini
sama kedudukannya dengan bisikan di dalam hati. Jadi ilham lebih tinggi
daripada firasat. Sebab boleh jadi firasat itu jarang-jarang terjadi
atau bersifat insidental dan pelakunya tidak bisa menentukan kapan
waktunya atau bahkan ia bisa mengecohnya. Sementara kedudukan ilham
sudah jelas.
Saya katakan, bisikan di dalam hati lebih khusus daripada ilham.
Ilham bersifat umum bagi orang-orang Mukmin, tergantung pada iman
mereka. Setiap orang Mukmin mendapat ilham petunjuk dari Allah, yang
menghasilkan keimanan kepada-Nya. Sedangkan bisikan dalam hati hanya
dikhususkan bagi orang-orang yang memang mendapatkannya, seperti Umar
bin Al-Khaththab. Jadi bisikan hati ini merupakan ilham khusus, atau
bisa dikatakan wahyu yang diberikan kepada selain para nabi, baik
mukallaf atau bukan mukallaf. Wahyu yang diberikan kepada mukallaf
seperti firman Allah, “Dan, Kami ilhamkan kepada ibu Musa, ‘Susuilah dia’.” (Al-Qashash:7).
Wahyu yang diberikan kepada yang bukan mukallaf, “Dan, Rabbmu
mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di
pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat yang dibikin manusia’.” (An-Nahl: 68).
Jika ilham ini dianggap lebih tinggi daripada kedudukan firasat, maka
justru bisa melemahkan anggapan itu sendiri. Sebab seperti yang sudah
dikatakan di atas, firasat itu jarang-jarang terjadinya. Sementara
sesuatu yang jarang-jarang terjadi tidak mempunyai hukum. Jelasnya
tentang masalah ini, masing-masing dari firasat dan ilham dibagi menjadi
umum dan khusus. Yang khusus pada masing-masing lebih tinggi dari yang
umum pada selainnya. Tapi perbedaan yang jelas di antara kedua-nya,
firasat lebih berkaitan dengan satu jenis tindakan atau perbuatan,
sedangkan ilham murni pemberian, yang tidak bisa diperoleh dengan
tindakan atau usaha tertentu.
Tingkatan Kesepuluh:
Mimpi yang benar, yang merupakan satu bagian dari nubuwah, seperti yang dikabarkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Mimpi yang benar itu merupakan satu bagian dari empat puluh enam bagian dari nubuwah.”
Tapi dalam riwayat lain yang shahih disebutkan merupakan satu bagian
dari tujuh puluh bagian dari nubuwah. Yang pasti, mimpi merupakan
permulaan wahyu. Kebenarannya tergantung kepada orang yang bermimpi, dan
mimpi yang paling benar ialah mimpinya orang yang perkataannya paling
benar dan jujur. Jika kiamat sudah dekat, maka hampir tidak ada mimpi
yang meleset, karena jaraknya yang jauh dari masa nubuwah.
Sementara pada masa nubuwah tidak membutuhkan mimpi-mimpi yang benar ini, karena sudah ada kekuatan cahaya nubuwah.
Kebalikan dari mimpi yang benar ini adalah karamah yang muncul
setelah masa shahabat, namun tidak muncul pada masa dekatnya hari
kiamat. Hal ini disebabkan kuat dan lemahnya iman. Begitulah yang
ditegaskan Al-Imam Ahmad.
Ubadah bin Ash-Shamit berkata, “Mimpi orang Mukmin merupakan
perkataan yang disampaikan Allah kepada hamba-Nya ketika dia tidur.”
Mimpi itu layaknya suatu pengungkapan, di antaranya ada yang berasal
dari Allah, ada yang berasal dari kejiwaan dan ada yang berasal dari
syetan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
“Mimpi itu ada tiga macam: Mimpi dari Allah, mimpi sedih dari syetan dan
mimpi yang terbawa bisikan seseorang ke dalam hatinya saat terjaga,
lalu dia memimpikannya saat tidur.”
Mimpi yang menjadi sebab hidayah adalah mimpi yang secara khusus
datangnya dari Allah. Sementara mimpi para nabi sama dengan wahyu,
karena mimpi mereka terlindung dari syetan. Begitulah kesepakatan umat.
Karena itu Al-Khalil Ibrahim hendak menyembelih putranya, sekalipun itu
bermula dari perintah dalam mimpi yang beliau alami. Sedangkan mimpi
selain para nabi, bisa dilaksanakan seperti halnya wahyu yang jelas,
jika memang tepat. Jika tidak, maka tidak perlu diamalkan. Lalu apa
komentar kalian tentang mimpi yang benar? Jika mimpi itu mimpi yang
benar, maka ia tidak akan bertentangan dengan wahyu. Siapa yang ingin
agar mimpinya benar, maka hendaklah dia terus-menerus menjaga
kejujurannya, memakan yang halal, menjaga perintah dan larangan, tidur
dalam keadaan suci, menghadap ke arah kiblat, menyebut asma Allah hingga
matanya terlelap. Jika dia berbuat seperti ini, hampir pasti mimpinya
bukan mimpi yang dusta.
Mimpi yang paling benar adalah mimpi pada waktu sahur, karena itulah
waktu turunnya wahyu, rahmat, ampunan dan saat syetan menyingkir jauh.
Sebaliknya, mimpi pada permulaan malam adalah mimpi yang banyak ditebari
syetan dan ruh-ruh syetan. (fimadani)
Sumber: Mukhtashar Madarijus Salikin