Papan
besar bertuliskan “Kampung Bebas Prostitusi” menancap kuat di ujung
sebuah gang di Dupak Bangunsari, Surabaya, Jawa Timur. Papan itu
ditancapkan Desember lalu dan disaksikan langsung oleh Walikota
Surabaya, Tri Rismaharini.
Pemasangan
papan tersebut sekaligus menandai secara resmi penutupun komplek
pelacuran yang sudah ada sejak tahun 1970 itu. Kelihatannya sekadar
memasang papan nama. Tetapi proses menuju itu butuh waktu lama dan penuh
intrik.
Bahkan,
proses penutupan itu sudah dimulai sejak 32 tahun lalu, saat Muhammad
Khoiron Syu’aib mulai merintis dakwah di sana. Dengan penuh kesabaran
dan persuasif, Khoiron terus membina para mucikari dan pelacur, hingga
kini. Saking lama dan intensnya membina, lulusan Pesantren Tebu Ireng
Jombang dan juga pengurus ranting NU Kecamatan Krembangan ini mendapat
julukan ‘dai spesialis lokalisasi’.
Membina
begitu lama di Bangunsasri, tetapi Khoiron belum mampu menutup
lokalisasi yang tak jauh dari pasar legendaris di Surabaya, Pasar Turi.
Hingga
momentum itu muncul: Gubernur Jawa Timur, Soekarwo memberi intruksi
kepada bawahannya untuk menutup seluruh lokalisasi yang ada di Jawa
Timur.
Untuk
penutupan itu, Pemprov menggandeng Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa
Timur untuk melakukan pembinaan kepada para mucikari dan pelacur. MUI
sendiri turun melalui organisasi bentukannya, IDIAL (Ikatan Dai Areal
Lokalisasi), dimana Khoiron menjadi ujung tombaknya.
Merasa
mendapat dukungan, Khoiron makin bersemangat. Tak hanya membina, ia
juga menyediakan bantuan modal bagi para pelacur yang insaf.
Apakah
benar-benar sudah bersih dari pelacuran? “Inilah tugas kita bersama
untuk terus mengawasi pelaksanaan keputusan pemerintah,” kata Khoiron.
Strategi Dakwah di Lembah Syahwat
Liku-liku mengentas pelacur dari dunia “hitam”. Kerap dicibir, pernah pula diancam. Kuncinya istiqamah dan persuasif.
Nama
Khoiron berkali-kali disebut di Aula IAIN Sunan Ampel Surabaya,
November 2012 lalu. Saat itu sedang berlangsung ujian terbuka bagi A
Sunarto AS. Ada ratusan orang hadir pada ujian untuk meraih gelar
doktor itu. Salah satunya Khoiron, nama lengkapnya Muhammad Khoiron
Syu’aib (53).
Pak Ustadz di Belantara Wisma
Dia mengayomi dan memberi harapan. Prostitusi berkurang drastis.
Khoiron
memulai dakwah di Bangunsari tahun 1981. Waktu itu ia baru lulus
sarjana muda dari Universitas Hasyim Asy’ari, Tebu Ireng, Jombang, Jawa
Timur. Ia memilih meneruskan kuliah di IAIN Sunan Ampel, dan memilih
tinggal bersama orangtuanya di Bangunsari.
Pertobatan Preman Pelacuran
Mabuk-mabukan dan main perempuan sudah biasa. Insaf karena merasa diayomi dan dirangkul.
Kulitnya
bersih. Darinya menyebar parfum beraroma lembut. Selalu tak
ketinggalan, songkok hitam yang ditempeli bros kecil berbentuk bendera
merah putih. Itulah sosok Gatot Krisbiantoro. (Hidayatullah)