Home » , » Antara Menyegerakan dan Tergesa-gesa

Antara Menyegerakan dan Tergesa-gesa


Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Bersabda:
“Mintalah fatwa dari hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tenteram jiwa padanya dan tenteram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa dan ragu-ragu dalam hati, walaupun orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya.”
Salah satu perkara yang perlu disegerakan adalah menikah. Begitu Islam mengajarkan. Menyegerakan bagi seorang laki-laki yang telah mencapai ba’ah adalah dengan segera meminang wanita baik-baik yang ia mantap dengannya. Ia mendatangi orangtua wanita tersebut dengan menjaga adab sambil membersihkan niat.
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah, maka tidaklah ia termasuk golonganku.” (HR Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi).[1]
Nabi kita juga mengingatkan, “Bukan termasuk golonganku orang yang merasa khawatir akan terkungkung hidupnya karena menikah, kemudian ia tidak menikah.”(HR Ath-Thabrani).
Sedang menyegerakan nikah bagi keluarga wanita adalah dengan mempercepat pelaksanaan jika tidak ada kesulitan yang menghalangi. Juga, menyederhanakan proses agar tidak membebani kedua mempelai. Mudah-mudahan mereka akan mendapatkan rumah tangga yang barakah dan diridhai Allah, keluarga yang di dalamnya terdapat anak-anak yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah.
Menyegerakan nikah insya-Allah lebih dekat kepada pertolongan Allah dan syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah akan menyempurnakan setengah agama kita kalau kita menyegerakan menikah. Insya-Allah, kita akan mendapati pernikahan yang barakah. Sebuah pernikahan yang barakah akan menjadikan orang-orang yang ada di dalamnya tenteram dan saling memberi manfaat.
Mereka akan memperoleh kebahagiaan dan terhindar dari hidup yang sia-sia. Seorang pemalas akan menjadi rajin, seorang peragu akan memperoleh yakin, dan seorang yang bimbang akan memperoleh keteguhan.
Nikah adalah satu di antara tiga perkara yang sunnah untuk disegerakan. Allah akan melimpahkan ridha-Nya kepada orang yang menyegerakan nikah. Mereka yang menyegerakan nikah atau membantu orang untuk menyegerakan nikah, insya-Allah akan mendapati rahmat dan perlindungan Allah kelak di yaumil-hisab. Sebab, sesungguhnya perbuatan menyegerakan nikah merupakan perkara yang disunnahkan oleh Rasulullah. Dan setiap perkara yang disunnahkan, adalah tindakan yang diridhaidan dicintai Allah.
Wallahu A’lam bishawab.
Akan tetapi, di dalam setiap perbuatan, setan berusaha untuk menggelincirkan manusia. Jika orang tidak mau melakukan kemaksiatan, setan berusaha untukmenggelincirkan manusia dengan menampakkan apa-apa yang sepintas mirip dengan perkara yang disunnahkan.
Banyak contoh tentang ini. Agama menganjurkan kita untuk syukur nikmat, mengabarkan dan menampak-nampakkan nikmat yang kita peroleh demi mengagungkan kemurahan Allah. Dan setan berusaha untuk menyimpangkan niat kita, sehingga kita menampak-nampakkan bukan dalam rangka syukur nikmat, tetapidalam rangka riya’ dan sum’ah. Jika riya’ adalah tindakan yang dilakukan denganharapan orang melihat kebaikan yang ada pada diri kita, sum’ah adalah tindakan agar orang mendengarkan keunggulan kita.
Kadang orang bersikap merendah karena tawadhu’, tetapi orang bisa merendah dalam rangka meninggikan diri di hadapan orang lain. Yang pertama, adalah kemuliaan akhlak yang sering dianjurkan agama. Yang kedua, adalah rekayasa kesan agar tampak sebagai orang yang memiliki kedalaman pemahaman agama.
Masih banyak yang lain. Hanya saja, kita sering tidak tahu bahwa yang ada pada hati kita bukanlah sebagaimana yang diharapkan oleh agama. Bisa jadi, kita mampu menunjukkan argumentasi (hujjah) atas apa yang kita lakukan. Kita berargumentasi melalui kekuatan nalar dan lisan yang dikaruniakan kepada kita, akan tetapi hati kita mengingkari. Sayangnya, kita pun sering tidak tahu bahwa hati kita mengingkari disebabkan pekatnya penghalang mata hati kita untuk melihat beningnya kebenaran.
Perkara nikah juga demikian. Kita disunnahkan untuk menyegerakan pernikahan. Meskipun demikian, kita bisa jadi terjatuh pada tindakan tergesa-gesa. Bersegera, akan mendekatkan orang kepada saat menikah. Penantian yang telah melewati berpuluh-puluh malam, insya-Allah segera terbayarkan dengan akad nikah yang dalam waktu dekat akan terlaksana. Sementara itu, tergesa-gesa bisa jadi justru menjadikan tibanya saat akad nikah harus melalui waktu yang lama.
Ada perbedaan yang jauh antara pernikahan yang disegerakan dengan pernikahan yang dilaksanakan secara tergesa-gesa. Waktu yang dibutuhkan dari peminangan sampai akad nikah bisa jadi sama. Tetapi, suasana yang terbawa dalam rumahtangga sangat berbeda.
Pernikahan yang disegerakan insya-Allah penuh barakah dan diridhai Allah. Di dalamnya, Allah mencurahkan perasaan sakinah kepada suami-istri tersebut. Bahkan, suasana sakinah juga terasakan oleh seisi rumah, sanak famili yang mengetahui, serta orangtua dari keduanya, kecuali bagi mereka yang sedang merasakan kekeruhan dalam jiwanya.
Tapi, apakah sakinah itu? Wallahu A’lam. Sepanjang pengetahuan saya, sakinah adalah ketenangan hati, ketenteraman jiwa, dan terbebasnya diri dari keinginankeinginanyang dilarang, sebab sesuatu yang dilarang akan menimbulkan kegelisahan dan kecemasan. Mereka juga tidak begitu terganggu oleh penilaian-penilaian sesaat dari masyarakat, sebab mereka menyandarkan penilaian kepada sumber yang jernih dalam soal-soal yang diatur dan mendasarkan pada kesepakatan dan kecintaan berdua dalam soal-soal yang dilapangkan (mubah) bagi kita. Mereka mungkin akan melakukan apa yang secara sosial diharapkan, tetapi itu bukan karena terdesak olehtekanan norma sosial semata. Melainkan menurut pertimbangan kemaslahatan.
Mereka mungkin akan menolak apa yang diharapkan secara sosial, tetapi itu bukan karena ingin menentang tatanan. Tetapi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berkenaan dengan madharat dan mafsadah.
Apa pengaruh sakinah bagi suami-istri yang baru memasuki jenjang pernikahan?
Apakah makna sakinah dalam membina kehidupan berumahtangga, mendidik anak, dan menetapkan misi setelah mereka mempunyai anak dari pernikahan mereka?
Sayang sekali kita tidak bisa membahas saat ini. Mudah-mudahan Allah memberikan petunjuk, ilmu, dan kekuatan pada saya untuk membahasnya di waktu lain dalam kesempatan yang lebih baik. Saat ini, cukuplah saya katakan bahwa sakinah menguatkan ikatan perasaan antara suami dan istri dengan jalinan perasaan yang diliputi oleh kerinduan yang menenteramkan saat tidak bertemu dan ketenangan yang menyejukkan saat berjumpa. Sakinah menumbuhkan kelembutan dan keramahan dalam pergaulan mereka, termasuk dalam mendidik anak kelak, serta memunculkan optimisme dan kekuatan jiwa ketika menghadapi masalah sehingga mereka tidak lebih tua dari usianya.
Bagaimana suasana keluarga yang sakinah? Sayang sekali saya belum bisa menggambarkan. Hanya saja, diam-diam saya kadang terkesan ketika menjumpai hadis yang mengabarkan sebagian tandanya.
“Akan lebih sempurna ketakwaan seorang mukmin,” kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “jika ia mempunyai seorang istri yang shalihah, jika diperintah suaminya ia patuh, jika dipandang membuat suaminya merasa senang, jika suaminya bersumpah membuatnya merasa adil, jika suaminya pergi ia akan menjaga dirinya dan harta suaminya.”
“Tiga kunci kebahagiaan seorang laki-laki,” kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menunjukkan, “adalah istri shalihah yang jika dipandang membuatmu semakin sayang dan jika kamu pergi membuatmu merasa aman, dia bisa menjaga kehormatan dirinya dan hartamu; kendaraan yang baik yang bisa mengantar ke mana kamu pergi; dan rumah yang damai yang penuh kasih-sayang. Tiga perkara yang membuatnya sengsara adalah istri yang tidak membuatmu bahagia jika dipandang dan tidak bisa menjaga lidahnya, juga tidak membuatmu merasa aman jika kamu pergi karena tidak bisa menjaga kehormatan diri dan hartamu; kendaraan rusak yang jika dipakai hanya membuatmu lelah namun jika kamu tinggalkan tidak bisa mengantarmu pergi; dan rumah yang sempit yang tidak kamu temukan kedamaian di dalamnya.”
Kita cukupkan pembicaraan sekilas tentang sakinah. Kita kembali lagi kepada pembahasan kita mengenai pernikahan yang disegerakan dan pernikahan yang tergesa-gesa.
Jika pernikahan yang disegerakan lebih dekat kepada kemaslahatan dan barakah, maka pernikahan yang tergesa-gesa lebih dekat kepada kegersangan dan kekecewaan. Pernikahan yang tergesa-gesa mendatangkan penyesalan dan ketidakbahagiaan. Ia mendapati istrinya menyusahkan dan membuatnya cepat beruban sebelum waktunya (he hmm, tapi bukan cepat beruban karena minyak rambut).
Saya teringat kepada penghujung do’a Nabi Daud ‘alaihissalam, “Ya Allah, … Hindarkanlah saya dari anak-anak yang durhaka terhadap orangtuanya; harta yang jadi bencana bagi saya maupun orang lain; tetangga yang buruk sifatnya, yaitu jika melihat kebaikan pada saya difitnahnya dan jika melihat keburukan disebarluaskannya, dan istri yang menyusahkan, membuat saya beruban sebelum waktunya.”
Jika pernikahan yang barakah membuat rumah terasa damai dan penuh kasih sayang, pernikahan yang tidak barakah mengakibatkan rumah terasa sempit dan orang tidak menemukan kedamaian di dalamnya. Ukuran fisiknya barangkali luas, bahkan jauh melebihi kebutuhan. Akan tetapi, tidak ada kelapangan di dalamnya.
Betapa bedanya antara luas dan lapang.
Pernikahan yang barakah insya-Allah akan kita dapati ketika kita menyegerakan nikah. Tetapi, pernikahan yang dilakukan tergesa-gesa justru bisa melahirkan kehampaan, kecuali kalau Allah menolong kita mengambil jarak dari keadaan kita sendiri, melakukan introspeksi yang teliti dan berhati-hati dalam menilai masalah.
Selanjutnya, mudah-mudahan kita bisa menjaga lisan (hifdhul-lisan) dari mengatakan apa-apa yang tidak baik di hadapan Allah dan manusia mengenai pasangan hidup kita, sekalipun dia tidak tahu. Sebab ungkapan kekesalan dan kekecewaan — apalagi sampai menutupi kebaikan yang ada padanya– bisa menjadi do’a yang pasti dikabulkan ketika ucapan itu keluar bersamaan dengan sa’atu-nailin, yaitu saat ketika ucapan menjadi do’a, dan do’a pada saat itu pasti terkabul.
Pembicaraan mengenai ini akan semakin panjang jika diteruskan. Cukuplah kita akhiri dengan berdo’a, mudah-mudahan Allah mengarunia kita dengan kemuliaan dan kebarakahan dalam keluarga kita. Semoga dari sana lahir keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah. Keturunan yang hukmashabiyya rabbi radhiyyah, yang memberikan kesejukan mata dan ketenteraman jiwa di dunia hingga kelak di hari kiamat.
Selanjutnya, mari kita lihat perbedaan antara menyegerakan dan tergesa-gesa. Kita akan membicarakan masalah ini melalui dua cara. Pertama, melalui tanda-tanda hati (mudah-mudahan Allah menjernihkan hati kita). Kedua, melalui perumpamaan yang dapat dipikirkan oleh akal.
Tanda-tanda Hati
“Orang yang mempunyai niat yang tulus,” kata Imam Ja’far Ash-Shadiq, guru dari Imam Abu Hanifah, “adalah dia yang hatinya tenang, terbebas dari pemikiran mengenai hal-hal yang dilarang, berasal dari upaya membuat niatmu murni untuk Allah dalam segala perkara.”
Pada hari ketika harta benda dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang datang kepada Allah dengan hati yang suci. (QS 26: 88-90).
Kalau kita menyegerakan nikah karena niat yang jernih, insya-Allah hati kita akan merasakan sakinah, yaitu ketenangan jiwa saat menghadapi masalah-masalah yang harus diselesaikan. Kita merasa yakin, meskipun harapan dan kekhawatiran meliputi dada. Kita merasa tenang, meskipun ada sejumlah masalah yang membebani dan menyita perhatian.
Ketenangan dan beban masalah bukanlah dua hal yang bertentangan. Seperti seorang ibu yang telah memiliki kematangan, kedewasaan dan kasih sayang besar kepada anak serta pengharapan besar terhadap ridha Allah. Saat menghadapi persalinan, ia merasakan ketenangan hati dan keyakinan. Meskipun harus melewati perjuangan mendebarkan yang melelahkan secara fisik dan ketegangan psikis, namun ketegangan ini bukan sejenis perasaan tidak aman.
Lain halnya dengan tergesa-gesa. Ketergesa-gesaan ditandai oleh perasaan tidak aman  dan hati yang diliputi kecemasan yang memburu. Seperti berdiri di depan anjing galak yang tidak pernah kita kenal, ada perasaan ingin untuk cepat-cepat berlari pergi menjauhi tempat itu. Kalau berlari, takut dikejar dan terjatuh. Kalau tetap berdiri di dekatnya, tidak ada kepastian dan ada kekhawatiran jangan-jangan anjing itu menggigit.
Inilah gambaran sekilas. Kalau belum jelas, bertanyalah kepada hati nuranimu. Mintalah fatwa kepadanya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Mintalah fatwa dari hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tenteram jiwa padanya dan tenteram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa dan ragu-ragu dalam hati, walaupun orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya.” (HR Ahmad).
Tanda-tanda Perumpamaan
Kalau suatu saat Anda naik motor dan menjumpai tikungan tajam, apa yang Anda lakukan? Apakah Anda akan segera membelokkan kemudi tanpa mengurangi kecepatan karena ingin cepat sampai? Atau, Anda mengurangi kecepatan sedikit, menelikung dengan miring, dan sesudah berbelok baru menambah kecepatan sedikit demi sedikit?
Jika Anda memilih yang pertama, sangat mungkin Anda terpental sendiri. Anda terjatuh, sehingga harus berhenti sejenak atau agak lama. Baru kemudian dapat meneruskan perjalanan.
Keinginan Anda untuk cepat sampai di tempat tujuan dengan tidak mengurangi kecepatan, apalagi justru dengan menambah kecepatan, tidak membuat Anda lebih cepat sampai dengan tenang, tenteram, dan aman. Bisa-bisa, kalau kecepatan Anda tetap antara sebelum berbelok dengan saat-saat berbelok, Anda justru terpental. Antara gaya sentrifugal dan gaya sentripetal, tidak seimbang.
Jika Anda memilih yang kedua, insya-Allah Anda akan dapat sampai lebih cepat. Awalnya memang mengurangi kecepatan, tapi sesudah betul-betul memasuki tikungan dengan baik, Anda bisa menambah kecepatan. Jika Anda mengurangi kecepatan lebih banyak lagi, Anda bahkan dapat membelok tanpa harus memiringkan badan banyak-banyak.
Jalan yang lempang adalah tamsil dari masa melajang, masa ketika masih sendiri. Belokan adalah proses peralihan menuju status baru, menikah dan berumah tangga. Sedang jalan berikutnya yang dilalui setelah berbelok, adalah kehidupan keluarga setelah menikah.
Pilihan pertama adalah sikap tergesa-gesa untuk menikah, sedangkan pilihan yang kedua adalah menyegerakan.
Ada perumpamaan lain. Kita melihat perumpamaan yang dekat-dekat dengan kita. Kalau suatu saat Anda bikin kolak kacang hijau, ada beberapa bahan yang perlu Anda masukkan. Bahan yang paling pokok adalah kacang hijau dan gula. Kalau Anda memasukkan gula bersamaan dengan kacang hijau, sesudah itu segera direbus, Anda akan mendapati kacang hijau itu tidak mau mekar. Anda tergesa-gesa. Kalau Anda memasukkan gula setelah kacang hijaunya mekar, Anda menyegerakan. Tetapi, kalau Anda lupa tidak segera memasukkan gula setelah kacang hijaunya mekar cukup lama, Anda akan kehilangan banyak zat gizi yang penting.
Sampai di sini, saya kira cukup pembahasan mengenai menyegerakan dan  tergesa-gesa. Mudah-mudahan Allah Ta’ala memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang menyegerakan, bukan tergesa-gesa. Semoga Allah menjadikan pernikahan kita barakah dan diridhai Allah.
Saya memohon perlindungan kepada Allah dari penjelasan yang tidak menambah kejelasan. Mudah-mudahan apa yang kurang dalam tulisan ini menjadikan Anda berhati-hati. Mudah-mudahan apa yang terang, menjadikan Anda mempunyai keyakinan hati. Mantap dalam melangkah.
Segala Puji bagi Allah
Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan banyak karunia. Dialah Yang Awal dan Yang Akhir. Maha suci Allah dari segala persangkaan hamba-hamba-Nya.
Maha Mulia Allah yang menurunkan hujan untuk mensucikan bumi dan menumbuhkan berbagai tanaman, baik yang berbuah, yang berbunga maupun yang berbuah sekaligus berbunga.
Saya bersyukur kepada Allah yang telah memberikan kekuatan dan petunjuk kepada saya untuk menulis bab ini, sekaligus buku ini secara keseluruhan. Semoga menjadi do’a yang baik. Menjadi sunnah hasanah yang diridhai.


[1] “Ini dinisbahkan atas nama Nabi yang Nabi sama sekali terbebas dari mengucapkan yang demikian. Ini hadis dha’if.” Kata Ustadz Abdul Hakim Abdats, “Hadis ini mursal, tabi’in langsung menyandarkan kepada nama Nabi, jelas tidak membawa nama sahabat.”

Sumber : MOHAMMAD FAUZIL ADHIM - HasanAlbanna 
Share this article :
 
Support : Enlightening Your Life With Us |
Copyright © 2012. Ramadhanus - All Rights Reserved
Supported by Gradasi Learning Institute
Jl. T. Nyak Arief No. 11 Lamnyong Banda Aceh, 085277471136 or 085260816081