Khilafah merupakan puncak kekuasaan tertinggi pada kepemimpinan publik dalam Islam dan pemangku jabatan tersebut digelari Khalifah yang berperan sebagai kepala tertinggi Daulah Islamiyyah.
Khalifah diamanahkan tugas-tugas dan diberikan wewenang tertentu. Mengenai tugas dan wewenang Khalifah ini, telah dibahas secara detail oleh Al-Mawardi dan beberapa pakar hukum politik Islam lain dalam buku-buku mereka. Khilafah dalam terminologi lain dinamakan juga “Al-Imamah Al-Kubra” (Kepemimpinan Tertinggi) dan pemangku jabatan digelari Al-Imam, yang berperan sebagai pelindung Islam dari serangan dan invasi para musuh dan para pelaku bid’ah serta berfungsi juga sebagai pihak yang memiliki kewenangan menangani urusan-urusan perpolitikan dunia berlandaskan pada aturan-aturan Islam.
Dalam pemahaman beliau, Khilafah Islamiyyah merupakan syiar dan lambang kebanggaan Islam yang mesti menjadi bahan pemikiran dan perjuangan umat Islam supaya bisa dikembalikan lagi kejayaannya seperti sediakala, namun perjuangan untuk menerapkan kembali sistem pemerintahan seperti itu tentu memerlukan proses yang tidak singkat serta persiapan yang sangat matang.
Kita dapat menyimpulkan dari beberapa pandangan yang tertuang dalam tulisan-tulisan Imam Hasan Al-Banna terkait dengan problematika Khilafah Islamiyyah sebagai berikut: “Bahwa berdirinya Khilafah Islamiyyah mesti didahului oleh perjuangan memformulasikan berdirinya pemerintahan-pemerintahan Islam di negeri-negeri Islam di mana setiap anak bangsa berjuang supaya hukum syariat bisa tegak di negaranya. Kemudian baru setelah itu, masing-masing pemerintahan Islam ini menyatukan visi dan misi mereka guna mendirikan sebuah negara adidaya Islam tingkat dunia”.
Hal ini telah disinggung pula dalam rukun bai’at yang membahas tingkatan-tingkatan proses perubahan dan perbaikan yang dimulai dari individu sebagai satuan terkecil, lalu pembentukan keluarga Muslim, kemudian dilanjutkan dengan pembentukan bangsa Muslim dan pembebasan negara dari penjajahan asing, kemudian proses perbaikan dunia pemerintahan hingga menjadi pemerintahan yang benar-benar Islami. Baru setelah itu, perjuangan perebutan kembali kepemimpinan dunia di bawah kekuasaan Islam dengan jalan membebaskan semua bangsa-bangsa Islam dari segala tekanan dan penjajahan asing, mengembalikan kejayaan Islam, mengakrabkan kultur budaya bangsa-bangsa dan mengembalikan persatuan dan kesatuan umat yang akan berperan penuh dalam kejayaan kembali Khilafah Islamiyyah yang telah lama hilang.
Dalam kongres V Ikhwanul Muslimin, Imam Hasan Al-Banna menyampaikan ceramah dengan tema “Ikhwanul Muslimin dan Khilafah Islamiyyah”, di antara intisari ceramahnya beliau mengemukakan: “Sesungguhnya Ikhwanul Muslimin menyakini bahwa Khilafah Islamiyyah merupakan simbol dari persatuan umat Islam dan visualisasi dari ikatan yang kokoh antar negara-negara Islam sedangkan Khalifah merupakan figur tempat bergantung penerapan hukum Islam”. Secara lengkap tingkatan proses perubahan dan perbaikan di atas diuraikan sebagai berikut:
Dalam kongres V Ikhwanul Muslimin, Imam Hasan Al-Banna menyampaikan ceramah dengan tema “Ikhwanul Muslimin dan Khilafah Islamiyyah”, di antara intisari ceramahnya beliau mengemukakan: “Sesungguhnya Ikhwanul Muslimin menyakini bahwa Khilafah Islamiyyah merupakan simbol dari persatuan umat Islam dan visualisasi dari ikatan yang kokoh antar negara-negara Islam sedangkan Khalifah merupakan figur tempat bergantung penerapan hukum Islam”. Secara lengkap tingkatan proses perubahan dan perbaikan di atas diuraikan sebagai berikut:
1. Pembentukan kepribadian Islam
Individu muslim yang kita inginkan adalah individu yang memiliki karakteristik selamat aqidahnya, benar ibadahnya, mulia akhlaknya, kuat fisiknya, luas pemikirannya, giat berusaha, pejuang sejati, menjaga waktunya, teratur segala urusannya, senantiasa bermanfaat untuk orang lain, menjaga tata krama, mampu membimbing anggota keluarga dan masyarakat di sekitarnya kepada Islam. Selain itu juga individu yang mau menyebarkan dan membimbing masyarakat kepada jalan kebenaran, yang siap memerangi segala bentuk kemungkaran, mendukung segala bentuk kebaikan dan amar ma’ruf nahi mungkar, bersegera melakukan amal kebaikkan, berusaha membangun opini umum yang mendukung Islam, membebaskan negeri dari macam bentuk penjajahan baik ekonomi, sosial, politik, maupun budaya. Berusaha mewujudkan pemerintahan yang Islami, dan mengembalikan kekhilafahan yang telah lama hilang dengan mewujudkan persatuannya, mengembalikan kejayaannya, mendekatkan peradabannya dan menghimpun kalimatnya.
2. Terbentuknya rumah tangga Islami
Ustadz Hasan Al-Banna menjelaskan: ”Pembentukan keluarga muslim, yaitu dengan mengkondisikan keluarga agar menghargai fikrohnya, memelihara etika Islam dalam setiap aktivitas kehidupan rumah tangganya. Rumah tangga muslim harus beranggotakan orang-orang yang berpegang teguh kepada penampilan Islami, sekurang-kurangnya dalam kehidupan duniawi. Dalam hal wanita muslimah, hendaknya berpakaian rapi yang menutupi auratnya, dan anak-anak hendaknya dididik untuk itu dengan membiasakan cara hidup Islami dan ibu adalah pelopornya.
3. Terbentuknya masyarakat Islami
Masyarakat muslim yang kita kehendaki adalah masyarakat yang menyambut seruan-seruan kebaikan, berserah diri kepada Allah, memerangi kemungkaran, karakter Islam dan akhlak rabbani mewarnai seluruh sendi kehidupannya, seluruh konsep pemikiran dan sikapnya bersifat Islami serta bebas dari segala macam yang bertentangan dengan Islam Selain itu, akal pikiran, hati dan perasaan masyarakat juga harus Islami, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, hidupnya penuh kasih sayang, berlaku adil terhadap sesama, suka memberi ma’af dan bersilaturahim, senantiasa mematuhi perintah Allah dan menolak segala bentuk kedzaliman.
وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ ﴿٣٩﴾
”Dan orang-orang yang apabila diperlakukan dengan dzalim mereka membela diri.” (QS. Asy-Syura: 39).
4. Terbentuknya pemerintahan Islam
Kita menghendaki tegaknya pemerintahan yang Islami di semua kawasan Islam. Syari’at Allah tidak mungkin tegak kecuali dengan tegaknya pemerintahan Islam. Oleh karena tujuan ini belum terlaksana, maka setiap muslim berkewajiban untuk bekerja keras dan berusaha memperbaiki pemerintahan agar pemerintahan tersebut mampu melaksanakan syari’at Islam, sehingga terbentuklah pemerintahan Islami yang menjalankan prinsip keadilan. Dalam perjalanan untuk menegakkan Daulah Islam dalam level dunia-tentunya-di samping menegakkan pemerintahan Islam di setiap negara sebagaimana konsep yang dikemukakan oleh Ustadz Hasan Al-Banna, ”Bentuk dan jenis pemerintahannya tidak menjadi persoalan sepanjang sesuai dengan kaidah-kaidah umum dalam pemerintahan Islam”, karena bentuk negara beraneka ragam seperti kerajaan, republik dan bentuk-bentuk negara lainnya. Kita harus membedakan antara kepemimpinan tertinggi Daulah Islam yang di satu sisi dan kepemimpinan lainnya di sisi yang lain.
Dalam kepemimpinan tertinggi Daulah Islam yang satu, kita terikat oleh teks-teks hukum dan perjalanan hidup Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, kita memiliki satu pola yakni pola Khilafah atau Imamah. Sejarah menceritakan bahwa beragam pemerintahan Islam pernah tegak dengan penguasaan seorang sultan atau amir. Semua pemerintah Islam mengakui kesultanan dan kedaulatan khalifah atasnya. Telah menjadi tradisi yang berlaku sejak zaman Rasulullah Saw apabila seseorang masuk Islam, maka eksistensinya menjadi bertambah, dan bukannya berkurang. Jika ia masuk Islam dalam kapasitasnya sebagai penguasa, maka Islam akan mempertahankan kedudukannya itu. Karena itu pula, pembahasan kita kali ini membicarakan persoalan yang lain. Ustadz Hasan Al-Banna menjelaskan karakter pemerintahan Islam sebagai berikut: ”Pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang para anggotanya orang-orang muslim, melaksanakan kewajiban, tidak bermaksiat secara terang-terangan, dan melaksanakan hukum-hukum Islam. Tidak mengapa menggunakan orang-orang non Islam sepanjang hanya menduduki jabatan umum. Bentuk dan jenis pemerintahannya tidak menjadi persoalan sepanjang sesuai dengan kaidah-kaidah umum dalam pemerintahan Islam. Di antara sifat-sifatnya adalah rasa tanggung jawab, kasih sayang kepada rakyat, bersikap adil sesama manusia, menahan diri dari harta rakyat, dan menghemat penggunaannya. Sedangkan kewajiban-kewajibannya antara lain, memelihara keamanan, melaksanakan undang-undang, menyebarkan pengajaran, mempersiapkan kekuatan, menjaga kesehatan masyarakat, memelihara kepentingan umum, mengembangkan kekayaan negara, menjaga keselamatan harta benda, meninggikan akhlak, dan menyampaikan dakwah. Memperbaiki pemerintahan sampai menjadi pemerintahan Islam yang sebenarnya, sehingga dapat memainkan perannya sebagai pelayan dan pekerja umat demi kemashlahatannya.”
5. Pembebasan negeri-negeri muslim
Ustadz Hasan Al-Banna menuliskan sebuah risalah, ”Daulah Islamiyyah yang kita kehendaki adalah Daulah yang memimpin negara-negara Islam dan menghimpun ragam kaum muslimin, mengembalikan keagungannya, serta mengembalikan wilayah yang telah hilang dan tanah air yang telah dirampas.” Hari ini kita masih melihat Irak, Iran, Palestina, Pakistan, bahkan Indonesia dan negeri-negeri muslim lainnya masih berada dalam kepungan kepentingan barat. Membebaskan negeri muslim dari belenggu penindasan sampai kembali memperoleh kedaulatannya baik dalam ekonomi, politik, sosial maupun budaya, dan aspek strategis lainnya. Untuk itu perlu ada gerakan perlawanan terhadap dominasi negara barat terhadap bumi Islam. Negara berideologi kapitalis, misalnya AS, konsepnya adalah menyebarkan sekularisme. Metodenya adalah penjajahan (imperialisme), yaitu pemaksaan dominasi politik, militer, budaya, dan ekonomi kepada bangsa-bangsa yang dikuasai untuk diekspolitasi. Sebaliknya, negara berideologi Islam (Khilafah), konsepnya adalah menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Metodenya adalah jihad fi sabilillah. Dalam praktiknya, konsep dan metode politik tersebut diterjemahkan ke dalam bentuk garis politik (khiththah siyasiyah) dan strategi politik (uslub siyasiy). Garis politik adalah politik umum yang dirancang guna mewujudkan salah satu tujuan yang dituntut oleh penyebaran ideologi atau oleh metode penyebaran ideologi. Adapun strategi politik adalah politik khusus mengenai salah satu bagian langkah yang mendukung perwujudan atau pengokohan garis politik. Contohnya, garis politik AS di Irak (2003) adalah menduduki Irak dengan atau tanpa legitimasi internasional, lalu mendirikan sebuah pemerintahan Irak yang akan mendapat legitimasi internasional (dengan resolusi PBB) dan legitimasi lokal (dari penduduk Irak). Strategi politik untuk mewujudkan legitimasi lokal itu adalah dengan melaksanakan Pemilu Irak. Kemudian pemerintahan hasil Pemilu ini akan diarahkan untuk memberikan persetujuannya terhadap pendudukan AS. Berbeda dengan konsep dan metode politik, garis dan strategi politik ini tidaklah tetap, tetapi dapat berubah-ubah. Contoh perubahan strategi politik adalah strategi AS di Dunia Islam. Pada tahun 50-an dan 60-an AS bertumpu pada revolusi-revolusi militer untuk menempatkan agen-agennya ke kursi kekuasaan. AS juga menggunakan bantuan-bantuan ekonomi seperti utang luar negeri serta apa yang dinamakan “pembangunan”. Sekarang, strategi AS bersandar pada solusi-solusi militer dan intimidasi serta kembali bersandar pada berbagai pakta dan pangkalan militer setelah sebelumnya tidak menggunakan cara-cara tersebut. Umat Islam tentu harus tahu cara untuk melawan konsep dan metode politik negara-negara barat, termasuk segala garis dan strategi politiknya.
Untuk menghancurkan garis dan strategi politik barat yang jahat, umat harus melakukan jihad siyasi (perjuangan politik) dengan jalan membongkar dan melawan berbagai garis dan strategi politik jahat itu. Adapun untuk menghancurkan konsep dan metode politik barat, umat harus melakukan gazhwul fikrî (perang pemikiran) dengan jalan memerangi dan mengecam sekularisme (konsep dasarnya) dan imperialisme (metodenya). Untuk itu kita perlu memahami posisi sebuah negara dalam peta politik internasional. Posisi internasional adalah struktur hubungan-hubungan internasional yang berpengaruh, atau keadaan yang melingkupi negara pertama dan negara-negara yang bersaing dengannya. Untuk memahami posisi internasional itu harus dipahami 4 (empat) tipologi negara berikut:
a. Negara pertama/utama (al-Daulah al-‘ula), yaitu negara yang paling berpengaruh terhadap politik internasional, seperti AS sekarang.
b. Negara pendukung/pengikut (al-Daulah al-tabi‘ah), yaitu negara yang terikat dengan negara lain dalam politik luar negerinya dan sebagian masalah dalam negerinya, seperti: Mesir terhadap AS dan Kazakhstan terhadap Rusia.
c. Negara satelit/mata-mata (al-Daulah allati fi al-falak), yaitu negara yang politik luar negerinya terikat dengan negara lain dalam ikatan kepentingan, bukan dalam ikatan sebagai pengikut. Contoh: Jepang terhadap AS; Australia terhadap AS dan Inggris; Kanada terhadap AS, Inggris, Singapura terhadap AS, dan Turki terhadap Inggris dan AS.
d. Negara independen (al-Daulah al-mustaqillah), yaitu negara yang mengelola politik dalam dan luar negerinya sesuai dengan kehendaknya sendiri atas dasar kepentingannya sendiri, seperti: Prancis, Cina, dan Rusia.
6. Tegaknya Daulah dan kekhilafahan Islam
Dalam kaitannya dengan ini Ustadz Hasan Al-Banna mengatakan, ”Semua negara Islam harus terbebas dari cengkraman asing”. Di atas wilayah yang telah bebas ini kemudian harus tertegak sebuah Daulah Islamiyyah yang bebas. Selanjutnya Imam Hasan Al-Banna berkata, ”Mengembalikan eksistensi Daulah Islam kepada umat Islam dengan membebaskan negaranya, menghidupkan keagungannya, mendekatkan peradabannya, menghimpun kalimatnya hingga semua itu mengantarkan kembalinya Khilafah Islamiyyah yang telah hilang dan persatuan yang dicita-citakan.” Semua ini adalah bagian dari kewajiban yang selama ini diabaikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Oleh karena itulah Imam Hasan Al-Banna menyerukan, ”Selama Daulah ini tidak tegak, maka semua umat Islam berdosa dan bertanggungjawab di hadapan Allah, mengapa mereka sampai lalai memperjuangkannya dan bersikap acuh tak acuh dalam penegakannya. Sungguh sebuah kedurhakaan terhadap nilai kemanusiaan bahwa dalam situasi yang membingungkan ini justru tegak suatu negara yang mengokohkan sistem nilai zhalim yang mempropagandakan seruan palsu, sementara tidak seorangpun mau berjuang untuk menegakkan negara yang haq, adil dan damai.”
Dalam perjuangan, setiap muslim, khususnya pengemban dakwah, yang ingin meraih kemenangan dalam menegakkan Islam melalui Khilafah Islamiyyah. Allah Swt. telah berjanji, bahwa Khilafah akan kembali tegak; bukan sembarang Khilafah, tetapi Khilafah yang berada pada metode kenabian (Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah), yaitu Khilafah sebagaimana yang dulu ditegakkan oleh para Sahabat, seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad,
“Akan berlangsung masa nubuwwah pada kalian menurut apa yang dikehendaki Allah, lalu Allah mengangkatnya ketika Ia menghendaki mengangkatnya. Kemudian akan berlangsung khilafah di atas minhaj nubuwwah menurut kelangsungan yang dikehendaki Allah, lalu Allah mengangkatnya ketika Ia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan berlangsung kerajaan yang menggigit menurut kelangsungan yang dikehendaki Allah. Lalu Allah akan mengangkatnya ketika Ia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan berlangsung kerajaan sewenang-wenang menurut kelangsungan yang dikehendaki Allah. Lalu Allah mengangkatnya ketika Ia menghendaki. Kemudian akan berlangsung khilafah di atas minhaj Nubuwwah. Lalu beliau diam.” (HR Ahmad).
Artinya, siapapun yang berharap agar pertolongan Allah datang, maka ia harus melangkahkan dirinya seperti para sahabat, minimal mendekati sikap dan perilaku mereka. Hal ini juga sesuai dengan penjelasan Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani, bahwa jalan untuk meraih pertolongan dan dukungan dari Allah adalah mendekatkan diri kepada-Nya. Pengertian Khilafah dengan gamblang dijelaskan oleh Ustadz Hasan Al Banna, ”Ikhwan meyakini bahwa Khilafah adalah lambang persatuan Islam dan fenomena ikatan antar bangsa muslim. Ia adalah simbol Islam yang kaum muslimin wajib memikirkannya dan menaruh perhatian untuk mewujudkannya.
Khilafah adalah pijakan bagi pemberlakuan hukum Islam, karena itu para sahabat lebih mendahulukan urusan ini dari pada urusan pemakaman jenazah Rasulullah Saw., hingga mereka menyelesaikan urusan itu dengan tuntas. Dengan itu Ikhwanul Muslimin menjadikan pemikiran Khilafah dan upaya untuk mengembalikan eksistensinya sebagai agenda utama dalam manhajnya. Bersamaan dengan itu Ikhwan juga meyakini bahwa ia membutuhkan banyak ”pengantar” yang harus diwujudkan.” (Muktamar Kelima). Dengan Khilafah maka syari’at Islam akan tegak dibumi ini. Asy-syatibi dalam Al-Muwaqat mengatakan bahwa hakikat diturunkan syari’at Islam (maqashid asy-syari’ah) adalah untuk menjaga agama (hifzu al-din), menjaga jiwa (hifzu al-nafs), menjaga akal (hifzu al-’aql), menjaga harta (hifzu al-maal), dan menjaga keturunan (hifzu al-nasab). Seperti yang termuat dalam firman-firman Allah sebagai berikut:
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحاً وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ ﴿١٣﴾
”Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, Isa yaitu, ’tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada agama-Nya orang-orang yang kembali kepada-Nya” (QS Asy-Syura: 13).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿٢٠٨﴾
”Hai orang-orang yang beriman masuklah ke dalam Islam secara kaffah, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (Q.S Al-Baqarah: 208).
إِنَّا أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُواْ لِلَّذِينَ هَادُواْ وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُواْ مِن كِتَابِ اللّهِ وَكَانُواْ عَلَيْهِ شُهَدَاء فَلاَ تَخْشَوُاْ النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلاَ تَشْتَرُواْ بِآيَاتِي ثَمَناً قَلِيلاً وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴿٤٤﴾
”Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat. Di dalamnya ada petunjuk dan cahaya. Dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh para nabi yang berserah diri kepada Allah dan oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka karena mereka diperintahkan untuk memelihara kitab-kitab Allah; mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu, janganlah kalian takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku. Janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Siapa saja yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang Allah turunkan, mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS Al-Maidah: 44).
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللّهُ وَلاَ تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيماً ﴿١٠٥﴾
”Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antar manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.” (Q.S An-Nisaa’: 105).
Adalah jelas bahwa ayat-ayat di atas bersama sejumlah ayat lainnya mewajibkan penerapan hukum Allah dalam kehidupan muslim, tanpa memberikan peluang untuk penyimpangan darinya. Maka dari sisi ini pelaksanaan hukum Allah dalam kehidupan muslim adalah suatu yang mendesak untuk dilaksanakan. Dalam pembicaraan masalah Imamah atau Khalifah para ulama selalu menyertakan keterangan bahwa tujuan utamanya adalah menjamin terlaksananya semua aturan dan tertegaknya hukum-hukum Allah di masyarakat. Imam al-Haramain mengatakan, ”Imamah adalah kepemimpinan sempurna dan kekuasaan umum mencakup urusan khusus dan umum dalam urusan diin dan dunia. Tugasnya menjaga wilayah, menjaga rakyat dan menegakkan dakwah dengan hujjah dan pedang. Menolak ketakutan dan penganiayaan serta menolong orang-orang yang tertindas dari kaum dzalim. Mengambil hak-hak dari orang yang menolak menunaikannya dan menunaikannya kepada yang berhak.”
7. Kepemimpinan Islam tingkat dunia
Kepemimpinan tersebut mengatur dan mengurus negara-negara Islam, menghimpun umat Islam, berjuang mengembalikan kejayaan Islam, mengembalikan tanah-tanah kaum muslim yang telah dirampas dan negara-negara mereka yang direbut secara paksa. Kemudian mengibarkan bendera jihad dan panji dakwah Islam sehingga dunia merasakan kebahagiaan dengan ajaran-ajaran Islam. Banyak gerakan Islam yang berhenti pada tahap pendirian Khilafah dalam konsep kebangkitannya. Berbeda dengan Ikhwanul Muslimin, berawal dari sebuah pertanyaan kritis, setelah Khilafah berdiri, lalu apa yang akan kita lakukan? Hanya berdiri di sanakah? Tentu tidak. Masih ada kewajiban lagi, yaitu menjadikan peradaban Islam sebagai pusat peradaban dunia (Ustadziyatul ’Alam), sehingga cahaya Islam mampu menembus di belahan bumi lainnya dan Islam dimenangkan atas segala agama serta membimbing manusia sedunia dan negara-negara di luar pemerintahan Islam untuk bertauhid dan menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini sesuai dengan firman-Nya,
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلّه فَإِنِ انتَهَوْاْ فَإِنَّ اللّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ﴿٣٩﴾
”Perangilah mereka (orang-orang kafir itu) agar tidak ada lagi fitnah di muka bumi ini dan agar agama itu semata-mata bagi Allah.” (QS. Al-Anfal: 39) .
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ ﴿٩﴾
”Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, agar dia memenangkan-Nya di atas segala agama-agama, meskipun orang-orang musyrik benci.” (QS. As-shaff: 9).
يُرِيدُونَ أَن يُطْفِؤُواْ نُورَ اللّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّهُ إِلاَّ أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ ﴿٣٢﴾
”Dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya (Islam).” (QS. At-Taubah: 32).
Ketujuh rincian yang dikemukakan di atas, antara satu dan yang lainnya saling berkaitan. Tegaknya suatu pemerintahan Islam disuatu kawasan merupakan satu tahap untuk mengembalikan eksistensi Khilafah pada level internasional. Tahapan ini untuk mempersiapkan tahapan berikutnya, yakni persatuan Islam. Persatuan Islam juga merupakan tahapan untuk menuju tegaknya kekuatan Islam internasional. Tujuan utama dalam tahap ini adalah menegakkan Islam termasuk menegakkan rukun-rukun Islam, sistem politik, sosial, ekonomi, militer, akhlak, pendidikan, pengajaran dan penguatan peran media massa Islam. Termasuk juga di dalamnya yang mendukung Islam dari segi sumber daya manusia dan berbagai kelengkapanya. Karena tujuan itu wajib ditegakkan, maka sesuai dengan kaidah fiqih, semua aspek yang mendukung terwujudnya tujuan itu menjadi wajib pula hukumnya.
Begitulah Ikhwanul Muslimin meletakkan gagasan Khilafah Islamiyyah dan perjuangan mengembalikan kejayaannya sebagai salah satu target puncak manhaj yang dianut oleh jamaah ini. Bersamaan dengan itu, mereka meyakini bahwa proses perjuangan ini tentu membutuhkan persiapan-persiapan yang sangat matang serta setelah melewati tahapan-tahapan yang sangat panjang dan melelahkan. Perjuangan ini mesti diawali dengan kerjasama erat dan hubungan diplomasi antar negara-negara Islam dalam bidang pendidikan, kebudayaan, sosial dan perekonomian. Setelah itu diiringi dengan perjanjian-perjanjian kerjasama dan penandatanganan MOU, penyelenggaraan kongres-kongres, muktamar-muktamar dan seminar-seminar internasional antar negara-negara Islam di dunia. Setelah itu dilanjutkan dengan pembentukan liga bangsa-bangsa Islam tingkat dunia. Pasca terwujudnya semacam persatuan atau liga bangsa-bangsa Islam sedunia tersebut, barulah disana ditunjuk seorang Imam.
Islam mewajibkan kaum Muslimin untuk bersatu di bawah satu naungan kepemimpinan seorang Imam atau Kepala Negara Islam. Sedangkan kondisi terpecahnya umat Islam ke berbagai negara dengan kepala negaranya masing-masing merupakan kondisi yang tidak dibolehkan dalam Islam, karena bisa melahirkan bibit-bibit perpecahan antar berbagai negara Islam. Sedangkan Allah Ta’ala melarang perpecahan yang akan berakibat pada kegagalan, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah dalam QS. Al-Anfal ayat 46:
(وَلاَ تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ) [الأنفال: 46]
Artinya: “Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.”
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim, Rasulullah saw bersabda:
إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا اْلآخَرَ مِنْهُمَا
Artinya:”Jika terdapat dua orang khalifah (yang satu sah dan yang lain tandingan) yang dibai’at (diangkat), maka bunuhlah khalifah yang terakhir dibai’at (khalifah tandingan).”
Hadits di atas menetapkan secara tegas pengharaman pengangkatan lebih dari satu orang Imam yang akan memimpin umat Islam dan dalam hadits itu terdapat pula penjelasan kewajiban umat Islam untuk membunuh khalifah yang dibai’at terakhir, bila ia bersikukuh tidak mau turun dari jabatan kekhalifahan sebagai upaya menjaga persatuan umat Islam dan memerangi perpecahan dan perselisihan yang akan mengakibatkan umat Islam menjadi terbelah.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dengan sanadnya sampai ke Abu Hurairah dari Nabi saw. Beliau bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيّ بَعْدِيْ، وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فوا بِبَيْعَةٍ الأَوَّل فَاْلأَوَّل، وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ
Artinya: “Dahulu kala Bani Israil dipimpin oleh para Nabi, setiap Nabi wafat, maka digantikan oleh Nabi sesudahnya. Dan sesungguhya tiada Nabi sesudahku (Muhammad), tetapi yang akan ada ialah para khalifah dan mereka banyak melakukan kesalahan. Para sahabat bertanya: “Apa yang Anda perintahkan kepada kami?”. Beliau menjawab: “Lakukanlah bai’at terhadap khalifah yang pertama, kemudian berikutnya (yakni khalifah yang diangkat pertama kali, bukan khalifah yang meraih kedudukan melalui kudeta, makar dan sebagainya) dan berikanlah kepada mereka hak-hak mereka.”
Fakta sejarah masa lalu maupun sekarang- mengungkap bahwa umat Islam telah melewati masa-masa suram yang melebihi kondisi perpecahan yang pernah menimpa dunia Islam ketika terbagi menjadi beberapa negara, begitupula hubungan diplomasi yang kurang harmonis, perasaan dengki, iri, pertikaian dan perpecahan antara Daulah Umaiyyah di Andalusia dengan Daulah ‘Abbasiyyah di Timur.
Formasi dan Struktur Negara dalam Islam
Imam Hasan Al-Banna menilai bahwa negara Islam harus berlandaskan pada tiga landasan kaidah pokok yang merupakan Struktur Dasar Sistem Pemerintahan Islam. Tiga landasan pokok tersebut adalah:
1. Pertanggung jawaban pemimpin terhadap Allah SWT dan terhadap rakyat.
2. Kesatuan umat Islam yang berlandaskan pada aqidah Islamiyyah.
- Menghormati keinginan rakyat dengan melibatkan mereka dalam musyawarah, menerima usulan-usulan dan keputusan-keputusan mereka baik yang bersifat perintah (ma’ruf) maupun larangan (munkar).
Jika semua ketentuan dan syarat di atas telah terpenuhi dalam sebuah negara, di manapun dan apapun bentuk negara itu, maka negara tersebut telah sah dinamakan dengan negara Islam, karena yang jadi pertimbangan bukanlah sebutan (formalitas) dan bentuk negara.
Imam Hasan Al-Banna telah menerangkan secara detail tiga landasan kaidah pokok sistem pemerintahan Islam tersebut yang beliau simpulkan dari intisari pemahaman Al-Qur`an, Sunnah dan sejarah Khulafaur Rasyidin dan khalfah-khalifah sesudahnya seperti Umar bin Abdul ‘Aziz dari halaman 360-362 dalam risalah yang sama. Beliau juga menjelaskan bahwa landasan-landasan pokok tersebut telah teraplikasikan di era kepemimpinan Khulafaur Rasyidin.
Seorang yang meneliti dengan cermat mengenai bentuk, formasi dan struktur negara dalam Islam dengan pendekatan sejarah akan menemukan bahwa terkadang negara diistilahkan dengan Khilafah dan yang menduduki jabatannya dinamakan Khalifah, seperti yang terjadi pada era kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, adakalanya dinamakan Sulthanah (kesultanan) yang dijabat oleh seorang Sulthan, seperti yang terpakai pada era Daulah Utsmaniyyah, terkadang dengan menggunakan istilah Mamlakah (kerajaan) yang dipimpin oleh seorang Raja, serta adakalanya diberi nama Imamat yang dijabat oleh Amirul Mukminin. Dan yang terpenting adalah substansi dengan terpenuhinya landasan-landasan pokok sistem kepemimpinan Islam dan tidak terlalu penting jikalau kita mempersoalkan penamaan meskipun alangkah lebih baiknya distilahkan dengan Negara Islam dari pada dinamakan dengan negara Republik, negara kerajaan dan sebagainya.
Akhirnya, bagi ummat ini, khilafah adalah sistem terbaik, cara, bukan solusi, apalagi tujuan untuk merumuskan dan menjalankan solusi-solusi besar bagi permasalahan ummat, bahkan dunia. Maka khilafah bukanlah sesuatu yang instan menyelesaikan persoalan. Tak ada serta merta di sini. Kerja-kerja itu harus dimulai sejak sekarang. Tak hanya menyiapkan perangkat sistem tapi juga sumber daya pengelolanya. Seorang muslim yang mu’min lagi muttaqin. Seorang profesional yang muhsin, seorang shalih yang mushlih.
Sehingga sikap kita terhadap Khilafah ada dalam empat poin berikut ini.
1. Khilafah itu adalah satu keniscayaan Nubuwwat, realistis dan bukan utopia.
2. Khilafah itu memerlukan sebab, maka kewajiban kita adalah berpartisipasi dalam mengikhtiyarkan sebabnya, bukan menunggu berpangku tangan.
3. Khilafah itu bukan ‘solusi jadi’ atas permasalahan ummat, tetapi alat yang dipakai untuk merumuskan dan menjalankan solusi, maka dia membutuhkan banyak sekali perangkat.
4. Sumberdaya yang akan mengelola perangkat-perangkat dalam Khilafah haruslah:
- Kapabel dan kredibel. Maka dibutuhkan tarbiyah yang membuat mereka tumbuh, berkembang, berdaya, terjaga, dan tertokohkan.
- Kompeten. Maka dibutuhkan banyak kader dakwah yang terdidik ahli, spesialis berwawasan luas untuk mengisi kualifikasi di berbagai bidang pelayanan ummat.
- Profesional dan Well-trained. Maka dibutuhkan banyak eksperimen, latihan, dan pembelajaran yang diperoleh melalui pengelolaan publik dalam organisasi dakwah, lembaga pelayanan, dan terlebih lagi institusi pemerintahan daerah maupun pusat.
- Terorganisasi. Maka dibutuhkan satu amal jama’i yang menopang segala aktivitas persiapan menuju Khilafah.
Begitulah. Hingga nantinya, kata Imam Hasan Al Banna, kita menyelesaikan tahap tugas Ustadziyatul ‘Alaam. Khilafah itu bukan berdiri angkuh atau berteriak nyaring di atas tahta dan mahkota, tetapi bekerja keras melayani dunia dan tersenyum ramah menjadi teladan semesta. Hingga nantinya ada satu titik di mana manusia tak bisa lagi membedakan pesona kebenaran Islam dengan pesona keagungan seorang muslim. Itulah kemenangan, dan Allah tempat memohon pertolongan.
(disusun dari berbagai sumber)