Sehatkan Jiwa Raga Kita dengan Akhlak Mulia
“DI DALAM tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat,” begitulah bunyi sebuah jargon yang sangat populer di era 90-an untuk memotivasi murid-murid sekolah antusias berolahraga. Akan tetapi faktanya tidaklah demikian. Tubuh yang sehat sama sekali tidak melambangkan jiwa yang sehat.
Coba lihat para preman, perampok dan penjahat, tidak ada rasanya di antara mereka yang tidak kuat otot dan tubuhnya. Termasuk para koruptor, sama sekali tidak menunjukkan kelemahan fisik. Justru ketika tertangkap KPK tidak lama kemudian, koruptor langsung sakit, itu sudah bukan rahasia.
Menariknya fenomena yang terjadi pada pelajar di Indonesia juga semakin menunjukkan bahwa jargon “Mensana incorporesano” itu tidak bisa diterima akal sehat. Bagaimana tidak, mereka yang terpelajar bahkan mahasiswa kini sangat gemar melakukan tawuran. Ironisnya, pemicu tawuran seringkali hanya karena masalah-masalah sepele.
Mereka lebih suka menggunakan otot daripada otak. Sementara itu, yang menjadi koruptor lebih suka menggunakan hawa nafsu daripada ilmu. Jadi, tanpa sadar bangsa ini telah banyak dilanda penyakit jiwa. Sebuah penyakit yang mendorong manusia berbuat kriminal, amoral, dan irasional.
Mungkin kita masih ingat bagaimana dulu di negeri ini pernah terjadi sebuah peristiwa yang sangat menyesakkan. Seorang ibu rumah tangga tega membunuh tiga anaknya secara bergiliran dalam satu malam. Ketiganya dibunuh dengan cara menekankan bantal ke muka mereka yang masih berusia di bawah 10 tahun.
Dalam pengadilan sang ibu menyatakan bahwa semua itu dilakukan karena terpaksa. Ibu itu dihantui oleh rasa takut yang mendalam akan masa depan ketiga anak-anaknya. Ia tidak mau melihat anak-anaknya nanti hidup susah dan menderita. Ironisnya, sang ibu itu bersama suaminya, ternyata tidak termasuk orang yang benar-benar miskin.
Oleh karena itu, hidup di zaman modern ini kita tidak saja perlu mewaspadai datangnya penyakit fisik dalam diri kita dan keluarga kita. Tetapi juga harus mewaspadai datangnya penyakit jiwa dalam hati kita semua. Yang ternyata dampak penyakit jiwa jauh lebih besar dan lebih serius daripada sekedar penyakit fisik.
Ustadz Abdullah Said, pendiri organisasi Hidayatullah dalam sebuah rekaman taushiyahnya pernah mengatakan, “Kalau kita mengalami sakit fisik, paling kita akan loyo dan akhirnya meninggal dunia. Berbeda kalau halnya ruhani (jiwa) yang sakit. Kita tidak akan semakin loyo tapi akan semakin beringas, semakin bernafsu, dan semakin gemar melakukan kejahatan-kejahatan.”
Fenomena penyakit jiwa ini mengalami peningaktan secara pasti. Bahkan yang terserang penyakit ini bukan saja kalangan broken-home, anak-anak terlantar, kelompok ekonomi lemah, tetapi juga banyak dari keluarga baik-baik, dari lingkungan terpandang, dari kalangan berekonomi menengah ke atas, bahkan dari kalangan agamawan.
Lebih dari itu, sakit jiwa di zaman ini tidak lagi hanya seperti anggapan umum selama ini yang menunjukkan adanya gangguan saraf atau otak. Tetapi lebih karena lemahnya iman-takwa, rendahnya ilmu dan tipisnya ketawakkalan kepada Allah SWT.
Semua itu terjadi karena kurang seriusnya (mujahadah) sebagian besar dari umat Islam sendiri memahami dan mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an yang sangat komprehensif menembus dimensi intelektual, emosional, dan spiritual.
Di sinilah momentum yang tepat bagi seluruh umat Islam untuk menunjukkan Islam sebagai solusi atas segala problematika kehidupan manusia; terutama masalah kesehatan jiwa dan raga. Yang ternyata untuk sehat jiwa raga itu, di dalam Islam tidak perlu harus dengan biaya tinggi dan ilmu yang rumit. Ajaib sekali, cukup dengan berakhlak mulia dan konsisten di atas ajaran Islam agar berhasil menjadi hamba Allah yang mendapatkan rahmat dari-Nya.
Dua Jenis Penyakit Jiwa
Dua jenis penyakit jiwa itu adalah penyakit syubhat dan penyakit syahwat. Kedua-duanya disebutkan di dalam Al-Qur’an.
Terkait dengan penyakit syubhat dapat dilihat dalam firman-Nya;
فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللّهُ مَرَضاً وَلَهُم عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit mereka.” (QS. Al-Baqarah [2] : 10).
Kemudian,
وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلَّا فِتْنَةً لِّلَّذِينَ كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَاناً وَلَا يَرْتَابَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُونَ وَلِيَقُولَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَالْكَافِرُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ
“Supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): "Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" (QS. Al Muddatsts [74] : 31).
Adapun terkait dengan penyakit syahwat dapat dilihat dalam firman-Nya;
يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفاً
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS.Ahzab [33] : 32).
Kemudian Rasulullah juga menjelaskan bahwa “Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging yang apabila berkualitas baik, maka seluruh tubuh menjadi baik. Dan apabila berkualitas buruk, maka seluruh tubuh akan menjadi buruk. Ingatlah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari).
Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa, sebagai pusat kendali jiwa dan raga, hati sangat menentukan kesehatan jiwa dan raga seseorang. Sosok kejiwaan seseorang yang mengalami krisis atau penodaan, yang mendorongya berbuat maksiat kepada Allah, sebenarnya bersumber dari kerusakan hati.
Seperti penderita paranoid, sejatinya itu berawal dari kondisi hati yang kurang tabah atau tidak memiliki Adversity Quoetient yang mendorongya mampu menghadapi cobaan atau situasi sulit dalam kehidupannya.
Akhirnya hatinya selalu diliputi prasangka buruk terhadap Allah. Jika dibiarkan, perasaan negatif itu akan terus-menerus menodai hati, sehingga jiwa seseorang menjadi sangat ringkih, overprotektif, dan akhirnya menjadi paranoid.
Berakhlak Mulia
Penyakit jiwa ternyata bersumber dari hati. Jika demikian maka jenis penyakit ini cukup populer bagi kita. Seperti sifat takabbur (sombong, angkuh, pongah), bakhil, tidak peduli dosa, dan mudah putus asa. Dan, semua jenis penyakit tadi dapat menjerumuskan penderitanya ke dalam neraka.
Takabbur misalnya, yang menjadi pemicu terjadinya pertikaian, perkelahian sampai tawuran adalah jenis penyakit yang menghalangi kita bisa masuk surga.
“Orang yang dalam hatinya terdapat, walau, hanya sebiji dzarrah ketakabburan, tidak akan masuk surga.” (HR. Muslim).
Takabbur adalah kondisi hati yang miskin dari rasa kehambaan sebagai akibat dari kebodohan. Oleh karena itu sombong dalam Islam tidak saja merujuk pada kepongahan dan keangkuhan, tetapi juga pada keengganan seorang Muslim beribadah secara sungguh-sungguh kepada Allah SWT.
Sifat takbbur juga mendorong manusia tidak siap menghadapi kekalahan, kegagalan, kebangkrutan atau keterpurukan. Selain itu juga melahirkan sikap iri dengki yang menunjukkan ketidakmauannya mengakui keunggulan dan keberhasilan orang lain. Semua orang dimatanya adalah rendah dan hina. Akibatnya ia menolak kebenaran dan suka sekali merendahkan orang lain yang dibencinya.
Orang takabbur akan mudah mengalami tekanan jiwa. Ia terpukul bila melihat saudaranya seiman lebih baik dari dirinya. Ia akan merasa terpuruk, saat banyak orang berbuat baik seperti dirinya. Sebaliknya, ia akan sangat senang bila melihat orang yang berpotensi baik terjebak dalam kesusahan, kemiskinan, dan kesengsaraan.
Jika takabbur itu dimiliki penguasa, maka dia akan sengsarakan orang yang tidak sesuai dengan seleranya, memenuhi hajatnya, atau memuaskan ambisi-ambisinya.
Bila ia orang kaya ia akan berusaha menjatuhkan yang lain. Jika dia orang miskin dia selalu merasa tetap lebih baik, meski sebenarnya tak berdaya berbuat apa-apa.
Jadi, yang harus kita lakukan adalah berusaha menjadi Muslim yang benar-benar meneladani Rasulullah dengan akhlak mulianya. Ketika mendapat perintah dari Allah beliau menjalankan dengan kesungguhan. Ketika dilarang melakukan suatu hal, beliau juga berusaha meninggalkannya. Ketika ada orang yang menghinanya, beliau bersabar atas semuanya. Ketika ada orang yang berbuat salah terhadapnya, beliau memaafkan. Semua itu tiada lain agar Allah menurunkan rahmat-Nya. Dan, tiadalah kesehatan jiwa raga bagi kita akan sempurna, selain karena Allah telah mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِي
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imron [3] : 159).
Imam Nawawi -- hidayatullah