Berhari raya bagi seorang muslim bukan
sekedar berbahagia dan bersenang-senang. Tetapi, justru momen untuk
semakin menguatkan hubungan dengan Allah Ta’ala, namun sayangnya hal ini
sudah banyak dilupakan banyak umat Islam. Mereka lebih fokus pada
simbolitas semata, seperti berbaju baru, makan-makan, dan menghabiskan
uang.
Oleh karenanya, ada baiknya kita
mengetahui adab-adab apa saja yang mesti kita lakukan ketika berhari
raya, yang dengannya berhari raya menjadi bernilai ibadah di sisi Allah
Ta’ala.
Dianjurkan Mandi Sebelum Berangkat Shalat
Mandi pada hari ‘Id adalah sunah, bukan wajib, dan ini telah menjadi ijma’ para ulama.
Berkata Imam Ibnu Rajab Rahimahullah:
والغسل للعيد غير واجب . وقد حكى ابن عبد
البر الإجماع عليهِ ، ولأصحابنا وجه ضعيف بوجوبه . وروى الزهري ، عن ابن
المسيب ، قال : الاغتسال للفطر والأضحى قبل أن يخرج إلى الصلاة حقٌ .
Mandi pada hari raya bukanlah kewajiban,
Ibnu Abdil Bar telah menceritakan adanya Ijma’ atas hal itu. Sedangkan
terdapat riwayat lemah bagi sahabat-sahabat kami yang menyebutkan
kewajibannya. Az Zuhri meriwayatkan dari Ibnul Musayyib, katanya: “Mandi
pada Idul Fitri dan Idul Adha sebelum keluar menuju shalat adalah benar
adanya.”[1]
Imam Ibnul Qayyim menceritakan:
كان يغتسل للعيدين، صح الحديث فيه، وفيه
حديثان ضعيفان: حديث ابن عباس، من رواية جبارة بن مُغَلِّس، وحديث الفاكِه
بن سعد، من رواية يوسف بن خالد السمتي. ولكن ثبت عن ابن عمر مع شِدة
اتِّباعه للسُنَّة، أنه كان يغتسل يوم العيد قبل خروجه.
Nabi mandi pada dua hari raya, telah
terdapat hadits shahih tentang itu, dan ada pula dua hadits dhaif:
pertama, hadits Ibnu Abbas, dari riwayat Jabarah Mughallis, dan hadits
Al Fakih bin Sa’ad, dari riwayat Yusuf bin Khalid As Samtiy. Tetapi
telah shahih dari Ibnu Umar –yang memiliki sikap begitu keras mengikuti
sunnah- bahwa Beliau mandi pada hari raya sebelum keluar rumah.[2]
Memakai Pakaian Terbaik dan Minyak Wangi
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أمرنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في العيدين أن نلبس أجود ما نجد و أن نتطيب بأجود ما نجد و أن نضحي بأسمن ما نجد
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
memerintahkan kami pada dua hari raya untuk memakai pakaian terbaik
yang kami punya, dan memakai wangi-wangian yang terbaik yang kami
punya, dan berkurban dengan hewan yang paling mahal yang kami punya.[3]
Tetapi, telah shahih dari para sahabat bahwa mereka memakai pakaian terbaik ketika hari raya.
عن نافع أن بن عمر : كان يلبس في العيدين أحسن ثيابه
Dari Naafi’, bahwasanya Ibnu Umar memakai baju yang terbaik pada dua hari raya.[4]
Dalam riwayat yang lebih panjang disebutkan:
وَعَن مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ قَالَ :
قُلْتُ لِنَافِعٍ : كَيْفَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا –
يَصْنَعُ يَوْمَ الْعِيدِ ؟ قَالَ : كَانَ يَشْهَدُ صَلاَةَ الْفَجْرِ
مَعَ الإِمَامِ , ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى بَيْتِهِ فَيَغْتَسِلُ غُسْلَهُ
مِنَ الْجَنَابَةِ ، وَيَلْبَسُ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ ، وَيَتَطَيَّبُ
بِأَحْسَنِ مَا عِنْدَهُ ، ثُمَّ يَخْرُجُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى
فَيَجْلِسَ فِيهِ حَتَّى يَجِيءَ الإِمَامُ ، فَإِذَا جَاءَ الإِمَامُ
صَلَّى مَعَهُ ، ثُمَّ يَرْجِعُ فَيَدْخُلُ مَسْجِدَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَيُصَلِّي فِيهِ رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ
يَأْتِي بَيْتَهُ
Dari Muhammad bin Ishaq: Aku berkata
kepada Naafi’: “Apa yang diperbuat Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma ketika
hari raya?” Beliau menjawab: “Beliau shalat subuh berjamaah bersama
imam, lalu dia pulang untuk mandi sebagaimana mandi janabah, lalu dia
berpakaian yang terbaik, dan memakai wangi-wangian yang terbaik yang dia
miliki, lalu dia keluar menuju lapangan tempat shalat lalu duduk sampai
datangnya imam, lalu ketika imam datang dia shalat bersamanya, setelah
itu dia menuju masjid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan shalat dua
rakaat, lalu pulang ke rumahnya.[5]
Imam Al Bushiri mengatakan tentang hadits ini:
رواه الحارث بن أبي أسامة ورجاله ثقات ، والبيهقي مختصرًا
Diriwayatkan Al Harits bin Abu Usamah, dan para perawinya adalah terpercaya, dan diriwayatkan oleh Al Baihaqi secara ringkas. [6]
Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri mengatakan: “Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dan Al Baihaqi dan isnadnya shahih.”[7]
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:
وكان يلبَس للخروج إليهما أجملَ ثيابه، فكان له حُلَّة يلبَسُها للعيدين والجمعة، ومرة كان يَلبَس بُردَين أخضرين، ومرة برداً أحمر
Ketika keluar pada dua hari raya,
Rasulullah memakai pakaiannya yang terbaik, Beliau memiliki sepasang
pakaian yang khusus digunakannya ketika hari raya dan hari Jumat,
sekali-kali Beliau memakai yang hijau, sekali pernah yang merah.[8]
Makan Dulu Sebelum Shalat Idul Fitri, Sebaliknya Tidak Makan Dulu Sebelum Shalat Idul Adha
Untuk hari Idul Fitri disunahkan makan
kurma berjumlah ganjil, sebelum berangkat shalat Id. Hal ini didasarkan
pada riwayat berikut:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ
وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ
حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
“Pada saat Idul Fitri Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah berangkat untuk shalat sebelum
makan beberapa kurma.” Murajja bin Raja berkata, berkata kepadaku
‘Ubaidullah, katanya: berkata kepadaku Anas, dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam: “Beliau memakannya berjumlah ganjil.” (HR. Bukhari
No. 953)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, mengutip dari Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah:
لا نعلم في استحباب تعجيل الاكل يوم الفطر اختلافا
Kami tidak ketahui adanya perselisihan
pendapat tentang sunahnya mendahulukan makan pada hari Idul Fitri.
(Fiqhus Sunnah, 1/317)
Ada pun untuk Idul Adha, disunahkan tidak makan dan minum dahulu, kecuali setelah shalat Id.
Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ الْأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّيَ
Janganlah keluar pada hari Idul Fitri sampai dia makan dulu, dan janganlah makan ketika hari Idul Adha sampai dia shalat dulu.[9]
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Hasan.” [10] Syaikh Al Albani menshahihkannya.[11] Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Dishahihkan oleh Ibnu Hibban.”[12]
Imam At Tirmidzi berkata:
وَقَدْ اسْتَحَبَّ قَوْمٌ مِنْ أَهْلِ
الْعِلْمِ أَنْ لَا يَخْرُجَ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ شَيْئًا
وَيُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يُفْطِرَ عَلَى تَمْرٍ وَلَا يَطْعَمَ يَوْمَ
الْأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ
Segolongan ulama menyunahkan agar jangan
keluar dulu pada hari Idul Fitri sampai makan sesuatu, dan disunahkan
baginya untuk makan kurma, dan jangan dia makan dulu pada hari Idul Adha
sampai dia pulang. (Sunan At Tirmidzi No. 542)
Pergi Menuju Lapangan Untuk Shalat Id
Shalat hari raya di lapangan adalah
sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena Beliau
tidak pernah shalat Id, kecuali di lapangan (mushalla). Namun, jika ada
halangan seperti hujan, lapangan yang berlumpur atau becek, tidak
mengapa dilakukan di dalam masjid. Dikecualikan bagi penduduk Mekkah,
shalat Id di Masjidil Haram adalah lebih utama.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
صلاة العيد يجوز أن تؤدى في المسجد، ولكن
أداءها في المصلى خارج البلد أفضل ما لم يكن هناك عذر كمطر ونحوه لان رسول
الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي العيدين في المصلى ولم يصل العيد
بمسجده إلا مرة لعذر المطر.
Shalat Id boleh dilakukan di dalam
masjid, tetapi melakukannya di mushalla (lapangan) yang berada di luar
adalah lebih utama, hal ini selama tidak ada ‘udzur seperti hujan dan
semisalnya, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua
hari raya di lapangan, tidak pernah Beliau shalat di masjidnya kecuali
sekali karena adanya hujan. (Fiqhus Sunnah, 1/318)
Maksud dari “mushalla” adalah:
موضع بباب المدينة الشرقي
Lapangan di pintu Madinah sebelah timur.
Imam An Nawawi menjelaskan:
أما الاحكام فقال اصحابنا تجوز صلاة العيد في الصحراء وتجوز في المسجد فان كان بمكة فالمسجد الحرام أفضل بلا خلاف
Ada pun masalah hukum-hukumnya,
sahabat-sahabat kami (Syafi’iyah) mengatakan bolehnya shalat ‘Id di
lapangan dan bolehnya di masjid. Jika di Mekkah, maka Masjidil Haram
adalah lebih utama, tanpa diperdebatkan lagi.[13]
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَنَّهُ أَصَابَهُمْ مَطَرٌ فِي يَوْمِ
عِيدٍ فَصَلَّى بِهِمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَلَاةَ الْعِيدِ فِي الْمَسْجِدِ
Bahwasanya mereka ditimpa hujan pada hari raya, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat Id bersama mereka di masjid. [14]
Adapun kalangan Syafi’iyah, lebih
mengutamakan di masjid jika masjid itu mampu menampung semua jamaah satu
daerah, jika tidak, maka di lapangan lebih baik.
Imam Abu Ishaq Asy Syirazi Rahimahullah menuliskan:
وإن كان المسجد واسعا فالمسجد أفضل من
المصلى لان الأئمة لم يزالوا يصلون صلاة العيد بمكة في المسجد ولان المسجد
أشرف وأنظف قال الشافعي رحمه الله فإن كان المسجد واسعا فصلى في الصحراء
فلا بأس وإن كان ضيقا فصلى فيه ولم يخرج إلى المصلى كرهت لانه إذا ترك
المسجد وصلى في الصحراء لم يكن عليهم ضرر وإذا ترك الصحراء وصلى في المسجد
الضيق تأذوا بالزحام وربما فات بعضهم الصلاة فكره
Jika masjid itu luas, maka shalat di
dalamnya lebih utama dibanding di lapangan. Karena para imam senantiasa
melakukan shalatnya di Mekkah di dalam masjid, juga karena masjid itu
lebih mulia dan lebih bersih. Imam Asy Syafi’i berkata: “Jika masjid itu
luas maka shalat di lapangan tidak apa-apa, jika masjidnya sempit maka
shalatlah di lapangan. Jika ada yang tidak keluar menuju lapangan maka
itu dibenci (makruh), karena jika mereka meninggalkan masjid dan shalat
di lapangan, tidak akan terjadi dharar (kerusakan). Jika mereka
meninggalkan lapangan, dan shalat di masjid yang sempit, maka hal itu
akan mengganggu mereka dengan berdesak-desakan, bisa jadi di antara
mereka ada yang luput shalatnya, dan hal itu menjadi makruh. (Al
Muhadzdzab, 1/118)
Dalam Syarah terhadap kitab Al Muhazdzab-nya Imam Abu Ishaq, Imam An Nawawi memberikan rincian sebagai berikut:
Shalat Id di Masjidil Aqsha, menurut Al
Bandaniji dan Ash Shaidalani, lebih utama dibanding di lapangan. Jumhur
tidak ada yang menolaknya, namun yang benar adalah bahwa mereka
menyamakan secara mutlak bahwa Al Aqsha sama dengan masjid lainnya.
Jika di negeri selain itu, maka jika
mereka memiliki halangan untuk keluar ke lapangan, maka tidak ada
perbedaan pendapat bahwa mereka diperintahkan shalat Id di masjid.
Udzur tersebut seperti hujan, dingin, rasa takut, dan semisalnya.
Jika tidak ada udzur, dan masjidnya sempit, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa di lapangan lebih afdhal.
Jika masjid luas, tapi tidak ada udzur, maka ada dua pendapat:
Pertama, yang shahih adalah yang tertera
dalam Al Umm, dan merupakan pendapat Al Mushannif (maksudnya Imam Abu
Ishaq Asy Syirazi), mayoritas ulama Iraq, Al Baghawi, dan selain mereka,
bahwa shalat di masjid lebih afdhal.
Kedua, yang shahih menurut komunitas
ulama khurasan bahwa shalat di lapangan lebih afdhal, karena Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu melakukannya di lapangan.
Golongan yang pertama memberikan
jawaban, bahwa dahulu shalat di lapangan lantaran masjid berukuran
sempit sedangkan manusia yang keluar sangat banyak, maka yang lebih
benar adalah di masjid. Demikian uraian Imam An Nawawi. (Lihat semua
dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/5)
Jadi, jika dilihat perbedaan ini, nampak
bahwa yang terpenting adalah tertampungnya jamaah shalat Id dalam
tempat shalat. Itulah esensinya, kalangan Syafi’iyah bukan menolak
shalat Id di lapangan sebagaimana penjelasan tokoh-tokoh mereka,
sebagaimana memang itu yang dicontohkan nabi, tetapi mereka melihat pada
maksudnya, yaitu karena manusia begitu banyak sedangkan kapasitas
masjid tidak cukup. Nah, untuk zaman ini rasio umat Islam dan jumlah
masjidnya tidak seimbang, umumnya memang masjid tidak mampu menampung
membludaknya jamaah –dan ini yang biasa terjadi- maka, saat itu di
lapangan lebih afdhal.
Wallahu A’lam
Dianjurkan Kaum Wanita dan Anak-anak Keluar Ke Lapangan
Mereka dianjurkan untuk keluar karena memang ini adalah hari raya mesti disambut dengan suka cita.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
يشرع خروج الصبيان والنساء في العيدين للمصلى من غير فرق بين البكر والثيب والشابة والعجوز والحائض
Dianjurkan keluarnya anak-anak dan kaum
wanita pada dua hari raya menuju lapangan, tanpa ada perbedaan, baik itu
gadis, dewasa, pemudi, tua renta, dan juga wnaita haid. (Fiqhus Sunnah,
1/318)
Ummu ‘Athiyah Radhiallahu ‘Anha berkata:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى
الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ
فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ
الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا
جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
Kami diperintahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengeluarkan anak-anak gadis, wanita haid, wanita yang dipingit, pada hari Idul Fitri dan idul Adha. Ada pun wanita haid, mereka terpisah dari tempat shalat. Agar mereka bisa menghadiri kebaikan dan doa kaum muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang kami tidak memiliki jilbab.” Beliau menajwab: “Hendaknya saudarinya memakaikan jilbabnya untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dan ini lafaznya Imam Muslim)
Hikmahnya adalah –selain agar mereka
bisa mendapatkan kebaikan dan doa kaum muslimin- juga sebagai momen bagi
kaum wanita dan anak-anak untuk mendapatkan pelajaran dan nasihat
agama.
[1] Imam Ibnu Rajab, Fathul Bari, 6/71
[2] Zaadul Ma’ad, 1/442. Muasasah Ar Risalah
[3]
HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7560, katanya: “Kalau bukan karena
kemajhulan Ishaq bin Bazraj, akan hukumi ini sebagai hadits shahih.” Hal
serupa juga dikatakan Imam Adz Dzahabi. Ath Thabarani dalam Al Mu’jam
Al Kabir No. 2756, dari Al Hasan bin Ali. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman
No. 3715. Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar No. 4730
Imam Al Hakim berkata: “Kalau bukan karena kemajhulan Ishaq bin Barzakh, akan hukumi ini sebagai hadits shahih.” Ucapan Beliau mengindikasikan kedhaifan hadits ini yakni karena majhul (tidak dikenal)-nya Ishaq bin Bazraj.
Tetapi, Imam Ash Shan’ani Rahimahullah mengomentari:
قلت : ليس بمجهول فقد ضعفه الأزدي ووثقه ابن حبان. ذكره في التلخيص.
Aku berkata: dia bukan orang yang majhul, Al Azdi telah mendhaifkannya, dan Ibnu Hibban telah men-tsiqah-kannya. Sebagaimana disebut dalam At Talkhish. (Subulus Salam, 2/72. Lihat juga Imam Ibnul Mulqin, Al Badrul Munir, 5/46)
Selain Ishaq bin Bazraj, ada rawi lain yang dipermasalahkan dalam hadits ini yakni Abdullah bin Shalih, yang didhaifkan oleh mayoritas muhadditsin.
Berkata Imam Al Haitsami:
رواه الطبراني في الكبير وفيه عبد الله بن صالح قال عبد الملك بن شعيب بن الليث : ثقة مأمون . وضعفه أحمد وجماعة
Diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam kitab Al Kabir, di dalamnya terdapat Abdullah bin Shalih. Berkata Abdul Malik bin Syu’aib bin Al Laits: “terpercaya dan amanah.” Tetapi Ahmad dan jamaah ahli hadits mendhaifkannya. (Majma’ Az Zawaid, 4/16. Darul Fikr)
Imam Al Hakim berkata: “Kalau bukan karena kemajhulan Ishaq bin Barzakh, akan hukumi ini sebagai hadits shahih.” Ucapan Beliau mengindikasikan kedhaifan hadits ini yakni karena majhul (tidak dikenal)-nya Ishaq bin Bazraj.
Tetapi, Imam Ash Shan’ani Rahimahullah mengomentari:
قلت : ليس بمجهول فقد ضعفه الأزدي ووثقه ابن حبان. ذكره في التلخيص.
Aku berkata: dia bukan orang yang majhul, Al Azdi telah mendhaifkannya, dan Ibnu Hibban telah men-tsiqah-kannya. Sebagaimana disebut dalam At Talkhish. (Subulus Salam, 2/72. Lihat juga Imam Ibnul Mulqin, Al Badrul Munir, 5/46)
Selain Ishaq bin Bazraj, ada rawi lain yang dipermasalahkan dalam hadits ini yakni Abdullah bin Shalih, yang didhaifkan oleh mayoritas muhadditsin.
Berkata Imam Al Haitsami:
رواه الطبراني في الكبير وفيه عبد الله بن صالح قال عبد الملك بن شعيب بن الليث : ثقة مأمون . وضعفه أحمد وجماعة
Diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam kitab Al Kabir, di dalamnya terdapat Abdullah bin Shalih. Berkata Abdul Malik bin Syu’aib bin Al Laits: “terpercaya dan amanah.” Tetapi Ahmad dan jamaah ahli hadits mendhaifkannya. (Majma’ Az Zawaid, 4/16. Darul Fikr)
[4] Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 5938
[5] Imam Al Bushiri, Ittihaf Al Khairah, No. 1587
[6] Ibid
[7] At Tuhfah Al Ahwadzi, 3/59
[8] Zaadul Ma’ad, 1/440
Ada beberapa riwayat tentang pakaian nabi ketika hari Id. Di antaranya:
أخبرنا إبراهيم بن محمد أخبرني جعفر بن محمد عن أبيه عن جده : أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يلبس برد حبرة في كل عيد
Mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, mengabarkan kepada kami Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari kakeknya: bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakai pakaian dari Yaman setiap hari raya. (HR. Musnad Syafi’i No. 320, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 5932)
Riwayat ini didhaifkan para ulama, karena dua sebab:
Pertama, Ibrahim bin Muhammad, dia adalah Ibnu Muhammad bin Yahya Al Madini, seorang yang matruk (ditinggalkan haditsnya) dan muttaham bil kidzb (tertuduh berdusta).
Imam Al Bukhari mengatakan: “Abdullah bin Al Mubarak dan manusia meninggalkan haditsnya.” (Adh Dhuafa Ash Shaghir, Hal. 17)
Imam Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa Imam Yahya bin Ma’in dan Imam Yahya bin Sa’id mengatakan: “Kadzdzaab – pendusta.” (Adh Dhuafa wal Matrukin, 1/51)
Kedua, Ja’far bin Muhammad, dia adalah Ibnu Muhammad bin Ali bin Al Husein bin Ali bin Abi Thalib. Berarti kakek beliau –yaitu Ali bin Al Husein- adalah cucunya Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, alias anak dari Al Husein Radhiallahu ‘Anhu. Maka mana mungkin cucunya Ali mendapatkan hadits ini dari nabi? Maka hadits ini mursal – gugur sanadnya pada generasi sahabat- sebagaimana disebutkan para ulama hadits. (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 2/193. Syaikh Al Albani, Tamamul Minnah, Hal. 345, dan As Silsilah Ash Shahihah, 5/471)
Tetapi, hadits ini memiliki syahid (penguat) dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُ يَوْمَ الْعِيدِ بُرْدَةً حَمْرَاءَ
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari ‘Id memakai pakaian Yaman berwarna merah. (HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 7609. Imam Al Haitsami mengatakan: “rijaaluhu tsiqaat – para perawinya terpercaya.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 2/198)
Ada beberapa riwayat tentang pakaian nabi ketika hari Id. Di antaranya:
أخبرنا إبراهيم بن محمد أخبرني جعفر بن محمد عن أبيه عن جده : أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يلبس برد حبرة في كل عيد
Mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, mengabarkan kepada kami Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari kakeknya: bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakai pakaian dari Yaman setiap hari raya. (HR. Musnad Syafi’i No. 320, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 5932)
Riwayat ini didhaifkan para ulama, karena dua sebab:
Pertama, Ibrahim bin Muhammad, dia adalah Ibnu Muhammad bin Yahya Al Madini, seorang yang matruk (ditinggalkan haditsnya) dan muttaham bil kidzb (tertuduh berdusta).
Imam Al Bukhari mengatakan: “Abdullah bin Al Mubarak dan manusia meninggalkan haditsnya.” (Adh Dhuafa Ash Shaghir, Hal. 17)
Imam Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa Imam Yahya bin Ma’in dan Imam Yahya bin Sa’id mengatakan: “Kadzdzaab – pendusta.” (Adh Dhuafa wal Matrukin, 1/51)
Kedua, Ja’far bin Muhammad, dia adalah Ibnu Muhammad bin Ali bin Al Husein bin Ali bin Abi Thalib. Berarti kakek beliau –yaitu Ali bin Al Husein- adalah cucunya Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, alias anak dari Al Husein Radhiallahu ‘Anhu. Maka mana mungkin cucunya Ali mendapatkan hadits ini dari nabi? Maka hadits ini mursal – gugur sanadnya pada generasi sahabat- sebagaimana disebutkan para ulama hadits. (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 2/193. Syaikh Al Albani, Tamamul Minnah, Hal. 345, dan As Silsilah Ash Shahihah, 5/471)
Tetapi, hadits ini memiliki syahid (penguat) dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُ يَوْمَ الْعِيدِ بُرْدَةً حَمْرَاءَ
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari ‘Id memakai pakaian Yaman berwarna merah. (HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 7609. Imam Al Haitsami mengatakan: “rijaaluhu tsiqaat – para perawinya terpercaya.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 2/198)
[9] HR. At Tirmidzi No. 542, Ibnu Majah No. 1756, Ibnu Hibban No. 2812, Ahmad No. 22984
[10] Ta’liq Musnad Ahmad No. 22984
[11] Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 1756, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 542
[12] Bulughul Maram, Hal. 176. Mawqi’ Misykah
[13] Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/5
[14]
HR. Abu Daud No. 1160, Ibnu Majah No. 1313, Al Hakim dalam Al Mustadrak
No. 1094, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 6051, juga As Sunan
Ash Shughra No. 732
Para ulama berbeda pendapat tentang hadits ini. Imam Al Hakim mengatakan: “Hadits ini shahih, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya. Dan, Abu Yahya At taimi adalah shaduuq (jujur), yang dikritik adalah Yahya bin Ubaidillah, anaknya.” Imam Adz Dzahabi menyepakatinya dalam At Talkhish, katanya: “Sesuai syarat keduanya (Bukhari dan Muslim).” (Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, No. 1094)
Para ulama berbeda pendapat tentang hadits ini. Imam Al Hakim mengatakan: “Hadits ini shahih, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya. Dan, Abu Yahya At taimi adalah shaduuq (jujur), yang dikritik adalah Yahya bin Ubaidillah, anaknya.” Imam Adz Dzahabi menyepakatinya dalam At Talkhish, katanya: “Sesuai syarat keduanya (Bukhari dan Muslim).” (Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, No. 1094)
Imam An Nawawi mengatakan: “Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan isnad yang hasan.” (Khulashah Al Ahkam, 2/825)
Tetapi kebanyakan ulama mendhaifkan hadits ini.
- Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Isnaduhu dhaif – isnadnya dhaif.” (At Talkhish Al Habir, 2/195), Beliau juga mengatakan dalam kitabnya yang lain: “Layyin-lemah.” (Bulughul Maram, Hal. 179. Mawqi’ Misykah)
- Imam Yahya bin Al Qaththan mengatakan: “hadits ini dhaif.” (Imam Ibnu Mulqin, Al Badru Al Munir, 5/65)
- Imam Adz Dzahabi mengatakan: “hadits ini munkar.” (Mizanul I’tidal, 3/315)
- Imam Ash Shan’ani mengatakan: “Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan isnad yang layyin, karena adanya seorang majhul (tidak dikenal keadaannya), dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dan Al Hakim dengan isnad yang dhaif.” (Subulus Salam, 2/71)
- Imam Al ‘Aini mengatakan: “Tidak ada yang tsabit (kokoh) dalam masalah ini.” (Syarh Abi Daud, 4/490)
- Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr mengatakan: “Hadits ini dhaif, ghairu tsaabit – tidak kuat.” (Syarh Sunan Abi Daud, 6/473)
- Syaikh Al Albani mengatakan: “isnaduhu dhaif – isnadnya lemah.” Beliau mengoreksi Imam Al Hakim dengan mengatakan:
وقال الحاكم:” صحيح الإسناد، وأبو يحيى
التيمي صدوق “! كذا قال! ووقع في “تلخيص المستدرك “:” على شرطهما “. وأظنه
خطأً من الطابع أو الناسخ؛ فإنه خطأ محض.وأما تصحيح الحاكم فمن تساهله الذي
اشتهر به.
Berkata Al Hakim: “Shahihul isnad, Abu Yahya At Taimi adalah shaduuq (jujur).” Begitulah katanya! Dan tercatat dalam At Talkhish Al Mustadrak: “Sesuai syarat keduanya (Bukhari-Muslim).” Aku kira ini adalah kesalahan dari percetakan atau naskah, dan ini adalah kesalahan murni. Ada pun penshahihan Al Hakim adalah bagian dari sikap tasahul (menggampangkan) dari Beliau yang memang sudah terkenal begitu. (Dhaif Abi Daud, 2/18)
Ada beberapa faktor hadits ini dinilai lemah oleh umumnya para ulama.
Pertama, di dalam sanadnya terdapat ‘Isa
bin Abdul A’la bin Abu Farwah, yang oleh para muhadditsin disebut
sebagai majhuul (tidak diketahui identitas dan keadaannya). Imam Adz
Dzahabi mengatakan: “Tidak dikenal.” Ibnul Qaththan mengatakan: “Aku
tidak ketahui ‘Isa ini tercatat dalam kitab-kitab rijaal sedikit pun,
dan tidak pula pada selain isnad ini.” (Mizanul I’tidal, 3/315), Imam
Ibnu Hajar mengatakan: ”majhuul.” (Taqribut Tahdzib No. 5305), Imam Abu
Thayyib Syamsul Azhim Abadi mengatakan: “rajulun majhuul –laki-laki yang
tidak dikenal.” (‘Aunul Ma’bud, 4/18), Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad
mengatakan: “majhuul.” (Syarh Sunan Abi Daud, 6/474), Imam Ibnu Mulqin
mengatakan: “tidak dikenal.” (Al Badrul Munir, 5/65)
Kedua, tentang Abu Yahya At Taimi, yang oleh Imam Al Hakim disebut shaduuq.
Kebanyakan ulama men-jarh (kritik) orang
ini. Imam Ahmad mengatakan: “Hadits-haditsnya munkar, dia tidak
dikenal, begitu pula ayahnya.” Beliau juga didhaifkan oleh An Nasa’i, Ad
Daruquthni, Ibnu Hibban, dan Yahya. (Al Badrul Munir, 5/65, Tahdzibul
Kamal, 19/80)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad
mengatakan: “maqbuul –bisa diterima. Dipakai oleh Al Bukhari dalam
Adabul Mufrad, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ibnu Majah.” (Syarh
Sunan Abi Daud, 6/474) namun, tidak dijelaskan alasan maqbul-nya. Oleh
karena itu, kritikan untuk Abu Yahya At Taimi lebih didahulukan karena
dijelaskan secara terperinci sebagaimana perkataan Imam Ahmad. Hal ini
sesuai kaidah: “Al Jarh Al Mufassar muqaddamun ‘alat Ta’dilil ‘Aam –
kritikan yang terperinci lebih diutamakan dibanding pujian yang masih
umum.”
Ketiga, dalam sanadnya terdapat Al Walid
bin Muslim, seorang imam yang terpercaya dan banyak ilmunya, dan imam
negeri Syam pada zamannya. Tetapi Abu Mashar berkata: “Dia adalah
seorang mudallis (suka menggelapkan sanad dan matan), dan barangkali dia
men-tadlis dari para pendusta.” (Mizanul I’tidal, 4/347), bahkan Al
Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “mau’ruf maushuf bit tadlis asy syadid –
dikenal disifati sebagai orang yang berat tadlis-nya.” (Thabaqat Al
Mudallisin, Hal. 51)
Oleh karenanya, kecenderungan yang lebih kuat adalah hadits ini dhaif, sebagaimana menurut mayoritas ulama.
Wallahu A’lam.
Farid Nu'man -- Hasan Al Banna
Wallahu A’lam.
Farid Nu'man -- Hasan Al Banna